Minggu, 30 Mei 2021

NAGASASRA SABUK INTEN (069)

 

“Kakang Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang
dapat aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan
sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orang-orang berkuda yang membuat
upacara-upacara aneh dengan mengorbankan gadis-gadis itu.”
Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan.
“Kakang Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih tetap ingin mengabdikan diriku. Sebab pengabdian yang sebenarnya tidak harus melulu ditujukan kepada raja, tetapi sebenarnyalah bahwa pengabdian harus ditujukan kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa berbahagia sekali kalau aku dapat berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati rakyat. Nah kakang Mantingan, sampai sekian saja pertemuan ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan Mantingan. Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa Jenar yang telah menemukan garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri juga selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang serupa, yaitu membasmi kejahatan, tetapi apa yang dilakukannya itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan yang besar.
Karena itu apa yang dilakukannya adalah suatu perbuatan sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari yang satu dengan yang lain.
Kemudian terdengar kembali Mahesa Jenar berkata.
“Kakang Mantingan, sampai di sini kita berpisah. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi. 
Kalau Kakang Mantingan tidak berkeberatan, di akhir tahun ini, dua hari sebelum
purnama penuh, kita bertemu di sekitar Banyu Biru dan Rawa Pening. Bukankah pada saat itu akan terjadi sesuatu yang penting?”
Seperti diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan menjawab.
“Baiklah Adimas. Baiklah kita menyaksikan pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari
aliran hitam itu. Sementara itu masih ada waktu bagiku untuk sedikit menambah
pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah itu aku juga akan segera kembali ke Wanakerta. Mudah-mudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki Ageng Supit.”
“Aku kira Ki Ageng Supit tidak akan keberatan, selama apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan garis kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat tinggal. 
Salamku buat Ki Asem Gede dan Demang Penanggalan.”
Dengan perasaan yang sangat berat Mantingan melepas Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya 
Mahesa Jenar pun merasa betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia mengalami banyak hal yang tak menyenangkan. Tetapi justru karena itu ia akan tetap terkenang pada sahabat-sahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami kesulitan.


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.