Minggu, 30 Mei 2021

NAGASASRA SABUK INTEN (070)

 

Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya. Mula-mula ia berjalan menyusur
jalan yang dilaluinya ketika ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus
sampai ke Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia mengambil
jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok ke barat, menyeberangi Sungai Opak.
Meskipun ia sama sekali belum mengenal daerah yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia
mengenal ilmu perbintangan yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang
dikehendaki.

NAGASASRA SABUK INTEN (069)

 

“Kakang Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang
dapat aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan
sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orang-orang berkuda yang membuat
upacara-upacara aneh dengan mengorbankan gadis-gadis itu.”
Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan.
“Kakang Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih tetap ingin mengabdikan diriku.

NAGASASRA SABUK INTEN (068)

 

Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jawaban, didengarnya dari arah samping suara gemersik rumput kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.
Ternyata apa yang dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang ketiga yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah menimbulkan
bermacam-macam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun dapat menguasai dirinya kembali.
Sementara itu terdengar Mantingan berkata.
“Adimas, maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan Adimas.”
“Tidak. Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di
sini?” jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah.

Rabu, 17 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (067)

Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar mendengar kata kata Mahesar Jenar itu.. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang tak dapat menjajagi perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati Mahesa Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu dengan marahnya ia berkata, Tuan, aku tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa suamiku berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa pamrih. Tetapi Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik.
Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa wanita cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu, seluruh tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping itu ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah menyinggung perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri terpaku seperti patung.

Selasa, 16 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (066)

Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula
sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia manjadi semakin perasa. Maka
ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak
bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut perasaannya, tetapi akibatnya
seperti sembilu yang lansung membelah ulu hati Nyai Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya. Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu. Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar.