Rabu, 17 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (067)

Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar mendengar kata kata Mahesar Jenar itu.. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang tak dapat menjajagi perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati Mahesa Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu dengan marahnya ia berkata, Tuan, aku tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa suamiku berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa pamrih. Tetapi Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik.
Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa wanita cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu, seluruh tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping itu ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah menyinggung perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri terpaku seperti patung.

Tak ada sepatah katapun yang diucapkan. Sampai Nyai Wirasaba menyambung pula, Tuan, barangkali Tuan menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain-main dengan suatu permainan yang jelek dengan Samparan. Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku mengharap ia lekas sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku masih dapat mengagumi ketangkasan Tuan di hadapan suamiku.
Sekali lagi dada Mahesa Jenar terguncang. Ia adalah seorang laki-laki yang mengutamakan keperwiraan seorang ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia menerima sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan dan Ki Asem Gede. Seandainya Nyai Wirasaba tidak langsung menyinggung harga dirinya sebagai seorang laki-laki, mungkin ia masih dapat menahan dirinya, meskipun dadanya akan menjadi sesak.
Tetapi sekarang, Nyai Wirasaba yang karena marahnya, telah langsung merendahkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dengan memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak dapat lagi membendung aliran perasaannya yang semakin deras mendesak dan telah cukup lama tertahan.
Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menyambut tantangan itu dengan sebaik mungkin, meskipun nafasnya menjadi berdesakan. Mudah-mudahan Ki Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba melayaninya, meskipun barangkali aku tidak akan dapat memberi kepuasan... dan ....
Sebenarnya masih banyak yang akan diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana
melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya adalah, Nyai, kalau ada kesalahanku maafkanlah, tak ada gunanya aku lebih lama tinggal di sini. Perkenankanlah aku pergi. Tolong pamitkan kepada mereka berdua, dan lain kali aku mengharap dapat bertemu kembali. Juga kepada Ki Wirasaba, sampaikan salamku, sampai bertemu apabila ia telah sembuh kembali. Belum lagi Mahesa Jenar mengucapkan seluruh katakatanya, terdengar suara Nyai Wirasaba hampir berteriak, Salahkulah kalau aku sampai datang kemari,
apapun sebabnya, karena aku seorang wanita. Kemudian diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba segera berlari meninggalkan tempat itu. Mahesa Jenar terpaku di tempatnya. Alangkah tumpulnya perasaanku.
Sungguh aku tidak mengerti, apa yang baru saja terjadi, gumamnya.


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.