Sabtu, 13 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (064)

Demikian Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali, segera ia meloncat dan tegak kembali tepat pada
saatnya. Sebab pada saat itu, harimau yang marah itu telah siap kembali menerkam. Tetapi setelah
mengalami kegagalan, rupanya harimau itu mendapat suatu pengalaman, bahwa dengan suatu terkaman
dari jarak yang jauh, ia tak berhasil menguasai mangsanya. Maka kali ini harimau itu tidak lagi merunduk
lalu meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti, harimau itu mendekati lawannya.
Mahesa Jenar bertambah berhati-hati melihat perubahan sikap harimau itu. Untuk melawan langsung seekor
harimau sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang tajam itu dapat merobek kulitnya. Maka
diputuskannya untuk segera mengakhiri perkelahian.
Mahesa Jenar segera bersikap. Tanpa mempergunakan unsur-unsur pendahuluan untuk menekan lawannya.

Ia berdiri di atas satu kakinya, menghadap langsung pada harimau itu. Satu kaki lainnya diangkat dan
ditekuk ke depan. Sebelah tangannya menyilang dada, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar secepatnya mengatur peredaran nafasnya, memusatkan pikiran dan menyalurkan segala
kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak tangannya. Maka ketika harimau itu mengaum dahsyat, serta dengan garangnya menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap dan terdengar ia berteriak nyaring.
Ia memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan kecil kesam- ping.
Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk harimau itu. Akibatnya
adalah dahsyat sekali. Harimau itu mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak tulang patah.
Sekejap kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati karena patah tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan ilmu Sasra Birawa.
Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
Dengan tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa sisa.
Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.
Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu. Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba
tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya, dan dengan sedikit
tergagap ia bertanya. Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat mengejutkan aku. Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan, Apakah yang Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi.


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.