Minggu, 14 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (065)

Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkawinannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya. Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di kejauhan. Ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkali-kali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat dikuasainya lagi. Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung.
Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. Aku tidak tahu, kenapa aku kemari. Tidak tahu? sahut Mahesa Jenar heran. Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat mengungkat kembali suatu kenang-kenangan yang indah pada masa muda. Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya. Bagaimana kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan macan loreng itu, kata Mahesa Jenar kemudian. Tidak mungkin. Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh, jawab Nyai Wirasaba. Nyai Wirasaba yakin? tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan. Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian. Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk tetap berada disini. Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain. Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya. Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan. Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu rapat. Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat ditakutinya. KARENA pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba. Karena itulah ia bertambah cemas. ―Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba, sekedar untuk mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga kalian. Dan sekarang, ketenteraman yang sudah hampir pulih kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu pulanglah dan lupakanlah segala angan-angan itu, kata Mahesa Jenar dengan suara gemetar.


Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.