Sabtu, 06 Juli 2019

NAGASASRA SABUK INTEN (061)

Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar mengamat-amati tangannya dengan jari-jarinya
yang kokoh kuat. Telah berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha
menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Dan sekarang, tangan ini harus siap membunuh
pula, juga untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Bahkan alangkah menariknya
untuk mengetahui pula kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan diselenggarakan
oleh golongan hitam itu, pada saat purnama naik, bulan terakhir tahun ini.
Maka dengan tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit dan berjalan mondar-mandir di
dalam ruangan itu. Malam sudah begitu dalam dan sepi. Kecuali suara-suara binatang
malam yang sekali-kali memecah sunyi.
Pada saat yang demikian tiba-tiba saja timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mencoba
kembali kekuatan tenaganya. Mungkin akan berguna nanti. Kalau ada kesempatan,
bukankah suatu hal yang baik sekali untuk membinasakan segala tokoh-tokoh hitam pada
saat mereka berkumpul? Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil yang
dapat ditakut-takuti oleh seekor anjing yang sedang menggonggong.
Belum lagi Mahesa Jenar mendapat sasaran untuk memulai, tiba-tiba didengarnya sayupsayup
suara yang bergetar panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu menggetarkan udara
seperti getaran gelombang pantai. Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang sering
terdengar. Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu telah terbenam dalam
sunyi malam. Setiap penduduk kademangan yang mendengar suara mengerikan itu
tubuhnya tentu akan menggigil karenanya.

Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar. Mendengar suara itu tiba-tiba timbullah
kegembiraannya. Dengan lincahnya ia segera meloncat turun ke halaman. Untuk
beberapa saat ia berdiri mendengarkan dari mana arah suara yang menggeletar itu.
Mahesa Jenar merasa bahwa ia akan mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian
dengan tidak berpikir panjang lagi. Segera ia meloncat dan seperti kilat berlari ke arah
suara yang menarik hati itu, agak jauh di luar pedesaan.
Ketika sekali lagi suara itu terdengar semakin panjang, Mahesa Jenar menjadi bertambah
gembira, sehingga ia semakin mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian seperti
bayangan yang terbang dalam kegelapan. Setelah beberapa lama berlari, Mahesa Jenar
menghentikan langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi terdengar. Dengan hati-hati dan
penuh kewaspadaan, ia mengamat-amati keadaan di sekitarnya, yang penuh semak-semak
dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.
Tiba-tiba telinga Mahesa Jenar yang tajam menangkap suara berdesir dari dalam semaksemak
itu. Cepat ia membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang dicari,
kini telah muncul dari balik batang-batang ilalang.
Mahesa Jenar tersenyum, ketika dilihatnya seekor harimau loreng sangat besar, hampir
sebesar kerbau, memandangnya dengan keheran-heranan. Matanya yang kehijaua-hijauan
memancar seperti lentera yang menyorot kepadanya. Untuk beberapa saat harimau itu
berdiri mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah yang telah
mengantarkan dirinya sendiri untuk menjadi santapan malamnya.
Ketika harimau itu perlahan-lahan maju ke depan, darah Mahesa Jenar berdesir juga.
Alangkah besar dan garangnya. Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa Jenar
mengawasi tangannya serta jari-jarinya yang kokoh kuat.
Pada telapak tangan Mahesa Jenar, seolah-olah terbayang apa yang pernah terjadi pada
saat terakhir, sebelum gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata wafat. Pada saat
ia mendapat warisan ilmu yang sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang dapat
dikatakan tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin menerapkan ilmu itu,
haruslah dipergunakan sisi telapak tangannya.
Meskipun pada dasarnya ilmu itu mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi tidaklah
demikian seluruhnya. Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih diri meyakinkan ilmu itu,
yang mempergunakan unsur-unsur gerak pendahuluan 10 macam. Sebelum itu ia masih
harus membiasakan keadaan jasmaniahnya. Setiap pagi dan sore menghantamkan sisi
telapak tangannya pada bermacam-macam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu.
Sepuluh unsur gerak pendahuluan itu hanyalah sekadar patokan untuk menekan lawannya
sampai sedemikian rupa sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan sudah
memungkinkan, dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak tangan.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.