Minggu, 30 Mei 2021

NAGASASRA SABUK INTEN (068)

 

Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jawaban, didengarnya dari arah samping suara gemersik rumput kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.
Ternyata apa yang dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang ketiga yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah menimbulkan
bermacam-macam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun dapat menguasai dirinya kembali.
Sementara itu terdengar Mantingan berkata.
“Adimas, maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan Adimas.”
“Tidak. Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di
sini?” jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah.
“Sudah... Sudah lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh
harimau itu dengan tangan, sampai perselisihan paham yang terjadi antara Adimas dan
Nyai Wirasaba,” sahut Mantingan.
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil kembali menggeleng lemah. Kemudian
katanya.
“Aku tidak mengerti kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh
pembicaraan kami Kakang?”
“Seluruhnya. Aku datang ke tempat ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba,”
jawab Mantingan.
“Kau tahu bahwa aku di sini?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, sebab ketika aku mendengar aum harimau dan terbangun dari tidurku, aku tidak
melihat Adimas di pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku turun ke
halaman, aku melihat Nyai Wirasaba sedang berlari dengan kencangnya ke arah suara
harimau itu. Tentu saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu. Segera aku pun
pergi menyusulnya. Dan seterusnya seperti apa yang terjadi di sini.”
Mendengar keterangan Mantingan, Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.

Kemudian untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masingmasing. Sampai kembali Mantingan berkata.
“Adimas, sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalah-pahaman belaka.”
“Apa pendapat Kakang tentang hal itu?” sela Mahesa Jenar.
“Maafkanlah kalau aku katakan, bahwa tidak banyak yang Adimas ketahui tentang
perasaan seorang wanita. Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas
itu dengan kemasgulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan apa-apa antara
Adimas dan Nyai Wirasaba. Karena itu tak ada alasan bagi Adimas untuk tergesa-gesa
pergi.”
Mahesa Jenar diam sejenak. Ia mencoba mencerna keterangan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi akhirnya kembali ia menggeleng lemah. Katanya.
“Kakang Mantingan, aku kira lebih baik aku pergi. Banyak hal yang tidak
menguntungkan apabila aku tetap tinggal di sini. Kakang tahu bahwa aku bukanlah
seorang yang sabar dan pradah untuk menerima perangsang perangsang yang dapat
membakar perasaanku. Aku juga masih belum tahu apakah Wirasaba sudah puas dengan
kematian Samparan.”
Kembali mereka berdiam diri. Udara malam yang lembab di daerah pegunungan
mengalir dibawa arus angin perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suarasuara malam bertambah jelas.
Sebenarnya sangatlah berat perasaan Mantingan untuk melepas Mahesa Jenar pergi.
Meskipun baru beberapa hari ia mengenalnya, namun seolah-olah hatinya telah
tergenggam erat dalam tali persahabatan. Karena itu ia berusaha keras untuk menahan
Mahesa Jenar.
“Adimas,” katanya sejenak kemudian mengusik sepi malam.
“kalau Adimas berkeras untuk meninggalkan tempat ini, bukankah lebih baik Adimas
pergi ke Prambanan? Kakang Demang Penanggalan akan merasa berbahagia kalau
Adimas sudi tinggal beberapa hari di rumahnya.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab ajakan itu. Memang pernyataan yang demikian itu
mungkin sekali. Tetapi mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana Ki Asem
Gede turut berkepentingan, adalah kurang pada tempatnya. Sedangkan ia sama sekali
tidak mengerti persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk meninggalkan
keluarga Ki Asem Gede dan kemudian tinggal pada keluarga Mantingan.
Dengan demikian suasana menjadi kaku, seperti garis-garis karang di tebing-tebing
pegunungan yang merupakan lukisan-lukisan hitam di atas dasar kebiruan langit yang

ditaburi bintang-bintang.
Akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu ketetapan. Ia harus pergi meninggalkan daerah
itu.



Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.