Minggu, 30 Mei 2021

NAGASASRA SABUK INTEN (070)

 

Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya. Mula-mula ia berjalan menyusur
jalan yang dilaluinya ketika ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus
sampai ke Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia mengambil
jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok ke barat, menyeberangi Sungai Opak.
Meskipun ia sama sekali belum mengenal daerah yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia
mengenal ilmu perbintangan yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang
dikehendaki.
Demikianlah Mahesa Jenar sebagai seorang perantau berjalan dari desa ke desa, dari kademangan yang satu ke kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan, Kalimati, Temu Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si Lempu dan Cupu Watu. Terus kembali membelok ke barat tanpa berhenti.
Maka pada saat fajar menyingsing sampailah Mahesa Jenar ke depan mulut hutan yang lebat, yang terkenal dengan nama Alas Tambak Baya.
Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti sejenak. Dipandanginya hutan lebat yang terbentang di hadapannya. Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat berbahaya. Di dalamnya bersarang banyak jenis binatang berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali binatang-binatang berbisa yang dengan sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di dalam hutan itu banyak bersarang penyamun-penyamun
dan perampok-perampok.
Hanya rombongan yang agak besar dengan kawalan yang kuat sajalah yang berani menyeberangi hutan ini. Kebanyakan mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir utara yang membawa barang-barang untuk dipertukarkan dengan hasil-hasil hutan. 

Tetapi meskipun rombongan-rombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal yang dianggapnya kuat, namun tidak jarang diantara mereka yang tak berhasil keluar lagi dari hutan ini.
Pada saat nama Lawa Ijo sedang cemerlang beberapa saat yang lalu, daerah ini pun merupakan daerah pengaruhnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri dan
melepaskan semua hak-haknya atas beberapa daerah. Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa Ijo adalah memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan menemukan pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, di samping persiapanpersiapan untuk menghadapi pertemuan puncak dari tokoh-tokoh sakti aliran hitam.
Karena itu timbullah kesan seakan-akan kekosongan pemerintahan di wilayah pengaruh Lawa Ijo. Penjahat-penjahat kecil yang semula harus tunduk pada setiap peraturan yang dibuat oleh Lawa Ijo, sekarang merasa bebas dan dapat berbuat sekehendak hati mereka.
Tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan dan pertempuran-pertempuran antara satu golongan dengan golongan yang lain, untuk memperebutkan rezeki.

Demikianlah kira-kira isi hutan lebat yang bernama Tambak Baya, yang sebenarnya hanya merupakan anak dari induk hutan yang lebih besar dan dahsyat, yaitu Alas Mentaok.


Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo telah menghentikan sebagian besar dari
kegiatannya, namun tak segolongan pun dari para penjahat kecil yang berani melakukan pekerjaannya di hutan induk yang lebat ketat itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih menghormati pusat kebesaran kerajaan Lawa Ijo.



Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.