Naga
Sasra dan Sabuk Inten, potong Dalang Mantingan mengejutkan. Ya, demikian mereka
menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang, yang mereka
perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu hanyalah
keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah bahwa
pada saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit
terlepas dari pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo
terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya, jelas
Samparan.
Sekarang
Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki
gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
Untunglah
bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian
Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan
Gajah Alit, tambah Samparan. Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang
terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian Mahesa
Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo. Dengan tak mereka sadari
terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, Jadi Anakmas pernah
melukai Lawa Ijo?
Mendengar
pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun
dalam keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem
Gede itu. Ia menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan
Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?
Mahesa
Jenar menangkap perubahan wajah Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang
yang pada saat-saat terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab
pertanyaan Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan.
Samparan,
barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku
beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas. Akulah
Rangga Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai
Lawa Ijo di halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan selalu
mencarinya.
Belum
lagi Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang
tenang itu, membasah. Lalu kata-katanya terputus-putus.
Jadi
... inikah pahlawan itu? Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan
Rangga Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku.
Akhirnya hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila
keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat yang demikian, apalagi
pusaka-pusaka aslinya.
Sejenak
kemudian wajah Samparan menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha
menguasai jalan pernafasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah.
Darah masih mengalir dari lukanya.
Tiba-tiba
sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede bahwa ia harus bertindak
secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir.
Adi
Mantingan, marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada
suatu cara untuk mengobatinya, kata Ki Asem Gede kepada Mantingan.
Mendengar
kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede
mengangkat Samparan
Dengan
senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan. “Terimakasih Ki Asem Gede.
Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui, Rangga Tohjaja.
Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu pertemuan para sakti dari
aliran hitam untuk menilai ilmu masing-masing, dan sekaligus mencari seorang
tokoh sebagai pemimpin mereka. Kecuali kalau sebelum itu seseorang
diantara mereka dapat membuktikan bahwa ia telah memiliki pusaka-pusaka
Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan menentukan
urutan hak saudara tua dari setiap gerombolan.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.