Selasa, 12 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (052)

Oleh SH Mintarja


Naga Sasra dan Sabuk Inten, potong Dalang Mantingan mengejutkan. Ya, demikian mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang, yang mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya, jelas Samparan.
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah Alit, tambah Samparan. Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo. Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, Jadi Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?

Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun dalam keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem Gede itu. Ia menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar menangkap perubahan wajah Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang yang pada saat-saat terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab pertanyaan Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan.
Samparan, barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas. Akulah Rangga Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai Lawa Ijo di halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan selalu mencarinya.
Belum lagi Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang tenang itu, membasah. Lalu kata-katanya terputus-putus.
Jadi ... inikah pahlawan itu? Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan Rangga Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku. Akhirnya hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat yang demikian, apalagi pusaka-pusaka aslinya.
Sejenak kemudian wajah Samparan menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha menguasai jalan pernafasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah. Darah masih mengalir dari lukanya.
Tiba-tiba sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede bahwa ia harus bertindak secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir.
Adi Mantingan, marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada suatu cara untuk mengobatinya, kata Ki Asem Gede kepada Mantingan.
Mendengar kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede mengangkat Samparan   
Dengan senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan. “Terimakasih Ki Asem Gede. Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui, Rangga Tohjaja. Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu pertemuan para sakti dari aliran hitam untuk menilai ilmu masing-masing, dan sekaligus mencari seorang tokoh sebagai pemimpin mereka. Kecuali kalau sebelum  itu seseorang diantara mereka dapat membuktikan bahwa ia telah memiliki pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan menentukan urutan hak saudara tua dari setiap gerombolan.

Bersambung.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.