Biarlah aku coba, desak Ki Asm Gede, meskipun
ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak ada kemungkinan untuk mengobati luka
Samparan itu. Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng
perlahan-lahan. Ki Sanak Mahesa Jenar ..., sebelum aku mati, baiklah aku
katakan kepadamu suatu rahasia yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku
tidak perlu takut kepada Lawa Ijo dan kepada siapapun? Kau mau mendengar? desah
Samparan kemudian. Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya, Aku
ingin mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu banyak
mengeluarkan darah, karena itu kau harus beristirahat. Samparan menarik nafas
dalam-dalam. Waktuku tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo
sekarang berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan Mentaok.
Desa tempat tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula.
Desa itu terletak tepat di tepi hutan. Agak ke
barat sedikit terdapatlah hutan yang hampir dipenuhi oleh pohon pucang,
sehingga hutan itu disebut Alas Pucang Kerep, kata Samparan. Samparan
berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.
Beristirahatlah
Samparan. Keterangan itu sudah cukup bagiku, jawab Mahesa Jenar.
SAMPARAN
berusaha untuk menggeleng.“Belum cukup. Di sana Lawa Ijo sedang menggembleng
diri. Ia sedang berusaha untuk memulihkan luka-lukanya yang dideritanya ketika
ia sedang berusaha mencuri pusaka-pusaka di Kraton Demak,” lanjut Samparan
sangat lemah.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu.
“Kalau
demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya dahulu,” pikir Mahesa Jenar.
“Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil. Ia selalu berada dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu, tetapi seperti apa yang digambarkan oleh Watu Gunung, aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu adalah seorang iblis yang jarang ada duanya, sambung Samparan hampir berbisik-bisik.
“Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil. Ia selalu berada dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu, tetapi seperti apa yang digambarkan oleh Watu Gunung, aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu adalah seorang iblis yang jarang ada duanya, sambung Samparan hampir berbisik-bisik.
Mahesa
Jenar menjadi tertarik pada cerita Samparan, sehingga ia lupa bahwa ia
berhadapan dengan seorang yang luka berat. Maka desaknya tidak sabar, Siapakah
nama gurunya itu?
Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.
Pasingsingan? ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang.
Mahesa Jenar pernah mendengar nama itu dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang tokoh yang aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang yang luhur budi. Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah aslinya, karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena topeng itu dibuat sedemikian kasar dan jelek, maka Pasingsingan digambarkan sebagai seorang yang berwajah menakutkan.
Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.
Pasingsingan? ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang.
Mahesa Jenar pernah mendengar nama itu dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang tokoh yang aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang yang luhur budi. Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah aslinya, karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena topeng itu dibuat sedemikian kasar dan jelek, maka Pasingsingan digambarkan sebagai seorang yang berwajah menakutkan.
Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi sehingga
tokoh itu berbalik diri dari lingkungan putih ke lingkungan hitam? Tetapi
sementara itu Samparan telah mulai berbisik lagi. Beberapa waktu yang lalu ...,
Lawa Ijo pernah dilukai oleh seorang senapati Demak, waktu ia sedang berusaha
untuk mendapatkan pusaka. Mendengar
cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
Ki
Sanak, dalam lingkungan golongan hitam terdapat suatu kepercayaan, bahwa barang
siapa memiliki sepasang pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda
bahwa orang itu akan dapat merajai seluruh golongan hitam. Dengan demikian akan
cukup kekuatan dan dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu pemerintahan
tandingan yang kekuasaannya akan dapat menyaingi kekuasaan Demak. Suara
Samparan menjadi semakin perlahan-lahan, tetapi masih cukup jelas. Sedangkan Lawa Ijo, atas petunjuk
Pasingsingan, akan mencuri langsung pusaka asli, yang menurunkan sepasang
pusaka yang diperebutkan itu, lanjut Samparan. Apakah ujud dan nama
pusaka-pusaka itu? Tiba-tiba Ki Asem Gede menyela.
Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu. Pusaka-pusaka itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain berlekuk sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru-biruan.
Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu. Pusaka-pusaka itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain berlekuk sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru-biruan.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.