Jumat, 25 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (050)

Oleh SH Mintarja


Samparan datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran. Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari pegangannya.

Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah yang terjadi. Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah  suatu goresan panjang merobek dada Samparan.
 Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan. Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede tergoncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang  mereka mengalami kejadian seperti ini.
Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun.
Samparan, yang dadanya terbelah, masih berusaha sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari ruangan itu. Kedua tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu. Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh haru. Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan dan Ki Asem Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah tidak dapat lagi menguasai keseimbangan badannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya, ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan Samparan diletakkan di atas tanah. Meskipun lukanya sangat membahayakan, tetapi wajah Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Bahkan dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan dan Ki Asem Gede berganti-ganti. Kemudian dengan tersenyum ia berkata, Ki Asem Gede. Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk mengurangi kesalahanku.
Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu, jawab Ki Asem Gede sambil mengangguk-angguk. Tak ada gunanya, Ki Asem Gede, jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat pelan.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.