Samparan
datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia
betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus
kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana
ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia
akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya
itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang
demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran. Sementara itu,
waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera
ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya
mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi
ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk
menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata
tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan
Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba
sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan
itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu
meleset lepas dari pegangannya.
Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah yang terjadi. Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu goresan panjang merobek dada Samparan.
Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan.
Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya menyembur darah
yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede tergoncang hatinya
melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat darah yang
mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami kejadian seperti ini.
Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun.
Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun.
Samparan,
yang dadanya terbelah, masih berusaha sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari
ruangan itu. Kedua tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu. Mahesa
Jenar memandangnya dengan penuh haru. Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan
dan Ki Asem Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah tidak
dapat lagi menguasai keseimbangan badannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat
menangkapnya, ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan
Samparan diletakkan di atas tanah. Meskipun lukanya sangat membahayakan, tetapi
wajah Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Bahkan dengan tenangnya
ia memandang Mahesa Jenar, Matingan dan Ki Asem Gede berganti-ganti. Kemudian
dengan tersenyum ia berkata, Ki Asem Gede. Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak
Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk mengurangi kesalahanku.
Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu, jawab Ki Asem Gede sambil mengangguk-angguk. Tak ada gunanya, Ki Asem Gede, jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat pelan.
Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu, jawab Ki Asem Gede sambil mengangguk-angguk. Tak ada gunanya, Ki Asem Gede, jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat pelan.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.