Baru
saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat
keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa
Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ,
bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai
pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan
mengelakkan diri. Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat
itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar
kemudian berubah menjadi keheran-heranan. Tetapi sesaat kemudian ia berlari
menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem
Gede.
Ayah! serunya. Tetapi kemudian suaranya di
kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah
payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa
lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan sekarang ia menyaksikan putrinya
dalam keadaan yang menyedihkan. Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu,
mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama
ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan
suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya. Setelah
suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan
untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat
di gandok sebelah barat.
Setan-setan
itu tidak berbuat jahat kepadamu? tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi
Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan
yang jijik, benci dan penuh kemarahan. Manakah kawan-kawan iblis itu? tanya Nyi
Wirasaba kepada Ki Asem Gede. Beberapa kali Nyi Wirasaba memandang Mahesa Jenar
dan Mantingan dengan penuh pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan
Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di mana, dan kapan? Sedangkan yang satu
lagi sama sekali ia belum pernah melihat.
Ki
Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera diceritakan apakah yang sudah
terjadi. Dan tiba-tiba saja Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada
Mahesa Jenar dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan
betapa besar terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat
bahwa Mantingan telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama kecil.
Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu sejak Mantingan mengikuti gurunya
ke Wanakerta.
Mahesa
Jenar dan Mantingan tak habis-habisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah
kiranya kalau Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu,
yang telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna,
dan keserasian tubuh yang tanpa cela.
Mantingan
yang pada masa kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar bersama, tidak
pernah membayangkan bahwa pada usia dewasanya perempuan ini akan memiliki
kelebihan dari kawan-kawannya sepermainan. Tak seorang pun yang mengetahui
bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu meratap di dalam hati, menyesali nasibnya
yang jelek. Karena memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang bulat, yang telah
beberapa kali menjeratnya ke dalam kesulitan-kesulitan yang hampir tak dapat
diatasi. Bahkan pada saat yang terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa
apabila tak ada pertolongan yang datang, ia lebih baik mengakhiri hidupnya
dengan sebilah patrem yang berhasil dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup
di dalam lingkungan iblis-iblis itu.
Setelah
perasaan Nyi Wirasabaa agak tenang, maka segera Ki Asem Gede mengajaknya
meninggalkan rumah itu. Di luar masih banyak orang yang sejak tadi belum mau
meninggalkan halaman itu. Meskipun mereka setiap hari melihat wajah Nyi
Wirasaba, kalau Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi
kali ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang menjadi sebab
berakhirnya kelaliman Samparan dan kawan-kawannya.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.