Kamis, 03 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (040)



Oleh : SH Mintarja
Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai, segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.
Ketika Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata. Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.

Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua kejadian yang mengerikan dan terjadi pada saat yang hampir bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede, yang sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia melihat keadaannya, ia menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada saat yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru saja terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem Gede.
Kegemparan itu segera berubah menjadi jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa mulut para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir sampai pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa Jenar sama sekali tak mengetahui, karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede. Mendengar jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya yang tajam menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi dada. Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat diiringi dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah bunga api yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah lain menyambar pula sebuah senjata sehingga membentur tombak yang hampir saja menembus tubuh Mahesa Jenar. Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di tanah, maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah Mahesa Jenar itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah trisula, Mantingan...! Teriak salah seorang diantara mereka. Ya, Dalang Mantingan, sahut yang lain. Sebentar kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang menyebut nama Mantingan. Memang, Mantingan telah terkenal di daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi kemudian lama ia tidak muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan sebaliknya. 

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.