Oleh : SH Mintarja
Berbareng
dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai,
segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda
dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya
dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki
Asem Gede berbuat seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.
Ketika
Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki
Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan
dirinya dan kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang
memegang senjata. Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat
atas pundaknya.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Orang-orang
yang melingkari arena, melihat dua kejadian yang mengerikan dan terjadi pada
saat yang hampir bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka
hanya dapat sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem
Gede, yang sesudah mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas
dan terduduk di atas tanah.
Mahesa
Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia
melihat keadaannya, ia menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya.
Dan pada saat yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang
baru saja terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang
berdesak-desakan ingin menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi
sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem Gede.
Kegemparan
itu segera berubah menjadi jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa
mulut para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir sampai pada
tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang datangnya sangat cepat.
Apalagi Mahesa Jenar sama sekali tak mengetahui, karena perhatianya tertuju
pada Ki Asem Gede. Mendengar jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan
segera perasaannya yang tajam menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di
belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri. Semuanya itu terjadi hanya dalam
waktu yang singkat, maka tak ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk
menghindarkan diri. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan tangannya
melindungi dada. Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh Mahesa
Jenar, terjadilah suatu benturan yang dahsyat diiringi dengan suara gemericing
senjata beradu, sehingga timbullah bunga api yang memancar. Kembali para
penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede, tak
seorangpun yang melihat bahwa dari arah lain menyambar pula sebuah senjata
sehingga membentur tombak yang hampir saja menembus tubuh Mahesa Jenar. Apalagi
ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di tanah, maka darah orang-orang yang
berkeliling arena itu berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah
Mahesa Jenar itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah
trisula, Mantingan...! Teriak salah seorang diantara mereka. Ya, Dalang
Mantingan, sahut yang lain. Sebentar kemudian arena itu telah dipenuhi oleh
teriakan orang menyebut nama Mantingan. Memang, Mantingan telah terkenal di
daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi kemudian lama ia tidak
muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang bertangkai kayu
berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga kamboja. Hampir semua orang
mengenal benda itu. Di mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan
sebaliknya.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.