Mendengar
sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula
terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi
semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali
sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia
menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis.
Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.
Mendengar
ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun
sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi
perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga
sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya. Mata Wirasaba yang sayu
memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun
yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang
jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Suasana
kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati.
Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu
kejadian yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan
dengan Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan
tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin. Kalau Mahesa Jenar
kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya.
Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan
demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin
ia akan membunuh dirinya.
Belum
lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba
berkata, Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari
tangan Samparan.
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai
gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama. Suasana menjadi
bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar.
Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai
saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun,
sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja.
Sehingga dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang
melonjak-lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu.
Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin
menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
Akhirnya
setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu
keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang
yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali
ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki
Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ki
Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia
pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar
menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun
hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah
tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.
Belum
lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu
bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping
pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin
terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah
berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
Pengecut
tua, kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya
dengan kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi
maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula.
Nah, sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali, teriak Samparan sambil
menuding wajah Ki Asem Gede. Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata
Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh
setan kecil ini?
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.