Selasa, 08 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (045)

Oleh SH Mintarja


Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya. Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
 Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka.

Mengingat bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa ia pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa. Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat untuk tidak menanyakan hal itu. Mereka takut kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki Asem Gede. Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal. 
Rumah  Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di tepi jalan induk di desanya. Berhalaman luas dan mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga yang berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi air yang bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar burung. Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam, itik, angsa dan sebagainya.
Halaman itu berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan menjadi batas dari dua daerah yang tampak sangat berlainan. Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini masih ada pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang hebat, pohon beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Waktu Mahesa Jenar dan Mantingan melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi jarang mereka merasakan kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu. Alangkah mesranya tangan yang telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi begitu indahnya. Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu, yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu rumahnya. Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang tertahan.
 ”Kakang ..., Kakang Wirasaba ..., aku kembali Kakang. Kembali kepadamu....” Sesudah itu, yang terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.

Bersambung.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.