Samparan
termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti
tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang
satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam
waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu
Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi
nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya. Segera setelah
itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk
menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya
berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan
di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul
sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki
Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang
didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede,
sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka.
Mengingat
bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa ia
pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa.
Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya,
atau barangkali terikat sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa
Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat untuk tidak menanyakan hal itu.
Mereka takut kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki
Asem Gede. Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka memasuki desa
tempat Ki Wirasaba tinggal.
Rumah
Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di tepi jalan induk di
desanya. Berhalaman luas dan mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan
halaman di sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman
berbunga yang berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan
berisi air yang bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar
burung. Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam, itik, angsa dan
sebagainya.
Halaman
itu berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan menjadi batas
dari dua daerah yang tampak sangat berlainan. Halaman-halaman lain di desa itu
masih ditumbuhi bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini
masih ada pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang hebat, pohon
beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan tempat-tempat yang dianggap
keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Waktu
Mahesa Jenar dan Mantingan melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki
Wirasaba, telah dijalari suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang
yang telah banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi
jarang mereka merasakan kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu.
Alangkah mesranya tangan yang telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi
begitu indahnya. Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih lama
lagi. Tiba-tiba mereka tersentak melihat Nyi Wirasaba yang tiba-tiba saja
berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu, yang ternyata tidak terkunci,
didorongnya kuat-kuat sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera
menghilang di balik pintu rumahnya. Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi
Wirasaba bercampur isak yang tertahan.
”Kakang ..., Kakang Wirasaba ..., aku kembali
Kakang. Kembali kepadamu....” Sesudah itu, yang terdengar hanyalah tangis Nyi
Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.