Samparan
dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya
bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia
terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat
lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke
dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton
meloncat lari meninggalkan halaman.
Mantingan
tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang
kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman
menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka sama
sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan
diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main.
Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara
berdentang hebat.
Tangan
Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang
dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya
tergores juga sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar
yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti pula. Sementara itu orang yang
telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan
menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu
mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur. Lawa Ijo telah datang, desis Mahesa Jenar.
Diakah
Lawa Ijo? tanya Mantingan. Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari
gerombolan itu, jawab Mahesa Jenar. Aku ingin suatu kali dapat bertemu
dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan untuk sementara. Marilah kita
kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan tempatnya, lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan.
Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu berwajah pucat-pucat
ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk tak berdaya. Apalagi waktu
terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika
Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
Kau terluka? tanya Ki Asem Gede.
Kau terluka? tanya Ki Asem Gede.
Mantingan
mengangguk mengiakan. Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar
kemudian tampak ia mengangguk-angguk. Tidak beracun, gumannya.
Karena
itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku
kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang
untung tak berbahaya, kata Ki Asem Gede.
Sementara
itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di
tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama
sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia
tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo. Samparan, kau kenapa? tegur
Mahesa Jenar.
Samparan
memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu
permohonan untuk mendapat perlindungan. Mahesa Jenar menangkap maksud itu.
Samparan,
kau jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri?
Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri.
Meskipun demikian, kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat
mengikuti Kakang Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan
engkau. Tetapi pada saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan
mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan
berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini.
Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan
memburumu, kata Mahesa Jenar.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak tenang
sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar.
Ia mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga
keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya
sendiri, yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak
terkalahkan.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.