Sedangkan
Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk
menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai
umpan. Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya,
matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di
dalam jiwanya. Samparan, kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil
istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat
meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil
istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah,
sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku
seorang jantan, sahut Wirasaba. Samparan tertawa dingin. Kau bermaksud
demikian?
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini
menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa
Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia
memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik
Samparan, meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat
sekali.
Kau
telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu? tanya Samparan
dengan nada menghina. Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung.
Dengan marahnya ia menjawab.
Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.
Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.
Kembali
Samparan tertawa dingin.“Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau.
Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama
cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh
sekarang ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang etelah retak,” kata
Samparan.
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua
kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan sebutan
Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada tandingannya diantara
mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu
paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah lumpuh.
Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar
ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat
menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya.
Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
“Kalau
kau tidak membawa senjata, Samparan ..., kau boleh meminjam senjata-senjata ku.
Manakah yang kau sukai?” kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang. Pada
dinding yang ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak,
pedang, keris dan sebagainya.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
“Wirasaba,
alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu. Hanya
saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah
aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu.”
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.