Wirasaba
menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar
lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan
yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata
yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Ki
Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya
mereka berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan.
Tetapi Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat
ketinggian ilmu Wirasaba.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
Tetapi sekejap kemudian Samparan segera
meloncat dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang Wirasaba. Mahesa
Jenar melihat segala gerak Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan
sebagai seorang anak yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali
ke pangkuan kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang
pernah dilakukan. Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Wirasaba.
Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak
dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba
ternyata memang seorang yang berilmu cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat
mempergunakan kakinya, tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak
banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis serangan-serangan Samparan, sehingga
tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam lengan
Samparan dengan tangkai kapaknya.
Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan.
Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak menyenangkan. Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan pertempuran itu.
Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan.
Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak menyenangkan. Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan pertempuran itu.
Maka,
semakin lama semakin jelaslah bahwa Samparan akan berhasil menguasai keadaan.
Ia mempergunakan suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju
sambil menyerang, tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat
surut menjauhi Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat
berbahaya.
Melihat
cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi semakin kalap, disamping rasa
penyesalan yang meluap-luap atas cacat kaki yang dideritanya. Karena itulah
maka cara bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin kabur. Sehingga pada
suatu saat, dengan gerak tipu yang cepat sekali, tombak Samparan mengarah ke
leher Wirasaba. Wirasaba segera mengangkat tombaknya untuk menangkis serangan itu.
Tetapi selagi kapak Wirasaba bergerak, Samparan mengubah serangannya. Dengan
satu putaran yang cepat tombaknya mengarah ke perut Wirasaba.
Melihat
perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba terkejut, secepat kilat ia mengayunkan
kapaknya memukul tombak Samparan. Pada saat yang demikian, kedudukan Wirasaba
menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari bentrokan itu, kemudian dengan
perubahan sedikit ia memukul kapak Wirasaba dengan arah yang sama, maka mungkin
sekali kapak itu akan terlempar jatuh. Tetapi pada saat ia akan melakukannya,
tiba-tiba terlintaslah di dalam benaknya, suatu ingatan, bahwa ia tidak
benar-benar berhasrat untuk mengalahkan Wirasaba.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.