Ki
Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang
mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai,
setelah mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat
bertemu kembali.
Ki
Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung. Sebentar kemudian
terdengarlah suara yang berat dan dalam.
Nyai,
masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali
kepadaku ...? Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus
karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena
itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba. Apakah maksudmu, Kakang? Nyai, kalau kau
dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu,
maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang
membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak menerima kau
kembali. Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka
kembali meledaklah tangisnya.
Kakang,
aku masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih
berhak kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu,
kau hanya akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk
bunuh diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa
tidak berhak lagi menerima aku? kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya. Nyai, laki-laki yang tahu diri, hanya dapat
memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri, jawab Wirasaba. Mendengar
jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati
pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang
merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka
dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
Mendengar
kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu
mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan,
mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat
kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi
agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk
bersila di atas pembaringannya. Selamat datang Bapak Asem Gede. Ki Asem Gede
membalas hormat. Selamat Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu.
Mudah-mudahan kau mau menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan
siapakah yang membebaskannya. Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih
tetap seperti saat ia diambil darimu.
Wirasaba
diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah
seorang jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan
orang lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan
seorang istri.
Siapakah
yang telah membebaskan istriku? tanya Wirasaba.
Ki
Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk
menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira
orang yang tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin
mengatakan bahwa Ki Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut
kalau-kalau hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.
MELIHAT
gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah
membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah
seorang yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera
muncullah sifat tinggi hatinya.
“Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?
“Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.