Jumat, 11 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (046)

Oleh SH Mintarja

Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung. Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam.
Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali kepadaku ...? Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba. Apakah maksudmu, Kakang? Nyai, kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang membebaskan engkau, Nyai, maka  akulah yang tidak berhak menerima kau kembali. Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya.

Kakang, aku masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih berhak kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau hanya akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa tidak berhak lagi menerima aku? kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.  Nyai, laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri, jawab Wirasaba. Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
Mendengar kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan, mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk bersila di atas pembaringannya. Selamat datang Bapak Asem Gede. Ki Asem Gede membalas hormat. Selamat Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya. Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap seperti saat ia diambil darimu.
Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan seorang istri.
Siapakah yang telah membebaskan istriku? tanya Wirasaba.
Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.
MELIHAT gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang  telah membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera muncullah sifat tinggi hatinya.
“Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?

Bersambung... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.