Ketika
Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang
berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di
belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian
Samparan. Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa
Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat menangkap tangan Samparan dan
diputarnya ke belakang. Samparan terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai
kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti
tanggem besi yang menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang
terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan
Mantingan. Adakah aku berbuat salah? rintih Samparan.
Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin
mendapat keterangan dari kau, jawab Mahesa Jenar.
Samparan
dan orang-orang yang menyaksikan sibuk menduga-duga, keterangan apakah gerangan
yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar. Samparan, kau dan Watu Gunung adalah
termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai persamaan kesenangan. Yaitu
berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan, sahabat jauh lebih berharga dari saudara,
bahkan orang tua. Rahasia-rahasia yang tak pernah didengar oleh keluarga
sendiri, kadang-kadang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah, katakanlah, aku
yakin kau mengetahuinya, apakah hubungan Watu Gunung dengan Lawa Ijo? lanjut
Mahesa Jenar.
Mendengar pertanyaan ini Samparan terkejut
seperti disambar petir meleset. Tidak pula kalah terkejutnya Ki Asem Gede,
Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo adalah nama yang
tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya saja, sudah cukup alasan bagi
Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun pada saat-saat terakhir Lawa Ijo tidak pernah
lagi muncul, tetapi apabila nama itu disebutkan, orang yang mendengarnya telah
cukup menggigil ketakutan. Samparan tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia
berdiri pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia semakin takut kepada Mahesa
Jenar, yang sama sekali tak diduganya akan mengajukan pertanyaan semacam itu.
Dari manakah gerangan ia mencium kabar tentang Watu Gunung dan hubungannya
dengan Lawa Ijo? Teranglah bahwa ia bukan orang sejajarnya, bahkan tidak
sejajar dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya saja menyebut
nama Lawa Ijo. Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya. Mereka
berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
Jawablah!-
desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan
berdesis menahan sakit. Aku tak tahu, jawab Samparan mencoba berbohong.
Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir
itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke atas. Kau tak mau menjawab? geram
Mahesa Jenar. Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa serba salah,
dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan memilih, mati di
tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
Aku
tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut
oleh Watu Gunung, jawab Watu Gunung. Apa katanya? desak Mahesa Jenar pula.
Kembali Samparan ragu-ragu. Kau takut kepada Lawa Ijo? bentak Mahesa Jenar yang
sudah mulai jengkel.
Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku? lanjut Mahesa Jenar. Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali. Yang aku ketahui, Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda seperguruan Lawa Ijo. Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku? lanjut Mahesa Jenar. Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali. Yang aku ketahui, Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda seperguruan Lawa Ijo. Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau
Lawa Ijo marah, sahut Mahesa Jenar. Samparan merasa bahwa ia tidak dapat
berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa
Ijo sekarang.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.