Tetapi
meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah
pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk
dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh
mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan
ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian
agungnya itu menunduk hormat.
Malaikat manakah orang ini, sehingga orang
seperti Mantingan masih juga menunduk hormat? pikir mereka. Tetapi mereka tidak
sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun
dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.
Ampun
Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung, jawab Samparan
gemetar. Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula
melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.
Sementara
itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah pula
berdiri di samping Mantingan. Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin
kecil dan wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan
orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup menampung aliran
sungai.
“Aku
ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari
suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian. “Demi Tuhan, putrimu disentuh pun
tidak,” jawab Samparan cepat-cepat. “Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem
Gede.
Segera
Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk
mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup
masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair.
Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki
ruang di bawah tanah.
Ki
Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu
alat perangkap saja.
Kau
mau main gila Samparan? tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian, sahut Samparan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka.
Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian, sahut Samparan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka.
Ruang
di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan
yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding
ruangan. Di bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan
jalur-jalur bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian
kedua adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan
ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing
dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.
Di
situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung, kata Samparan sambil menunjuk
pada palang pintu yang besar itu. Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu
untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya. Rupanya
Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya, Bolehkah aku membukanya?
Ki
Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, Bukalah, tetapi
jangan main gila. Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya
memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam ruangan
yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung sejenak, tangannya bergerak
membukanya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.