Jumat, 04 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (041)

Oleh SH Mintarja


Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat.
 Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk hormat? pikir mereka. Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah  mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.

Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung, jawab Samparan gemetar. Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan Samparan yang begitu pengecut.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping Mantingan. Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan wajahnya semakin putih. Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan yang sanggup menampung aliran sungai.
“Aku ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian. “Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat. “Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap saja.
Kau mau main gila Samparan? tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian, sahut Samparan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka.
Ruang di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan yang terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.
Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung, kata Samparan sambil menunjuk pada palang pintu yang besar itu. Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka sambungnya, Bolehkah aku membukanya?
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, Bukalah, tetapi jangan main gila. Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia merenung sejenak, tangannya bergerak membukanya.

Bersambung... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.