Pada
suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah
gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan
dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak
menyenangkan itu.
Yang
mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di
langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang
lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah
beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah
Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang
jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari
pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan
serulingnya itu. Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan
memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading, kata Ki
Asem Gede.
Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang
sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya angin senja.
Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat kemudian melonjak riang,
seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian
berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta. Sambil menatap wajah bulan,
ia berlagu dengan lembutnya.
Tetapi
sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu.
Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang
tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi
Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam,
sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta.
Maka
beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia
mengungkapkan suatu ceritera rakyat tentang cinta abadi antara Bapa
Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi
ini.
WIRASABA
sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat
pada saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang
rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya,
selalu melukiskan kisah yang terjalin di hatinya. Sebagai seorang yang hidup
bebas di padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau
terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh melampaui
batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh
perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian
dapat melukiskan segenap warna dalam jiwanya.
Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
“Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan.”
Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
“Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan.”
Ki Asem Gede melanjutkan ceritanya. Apalagi
ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi
gelombang terdengar seperti susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan
segulung demi segulung menghantam tebing.
Bersambung.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.