Rabu, 20 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (057)

Oleh SH Mintarja


Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya, ujar Ki Asem Gede.
Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya, tambahnya.
Meskipun Ki Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya  racun itu ke bagian tubuh  yang lain.
Itulah Anakmas  Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan, jelas Ki Asem Gede.

Ki Asem Gede  mengakhiri ceriteranya  dengan suatu tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya.
Sebagai  seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya? tanya Mahesa Jenar.
Tidak ada, jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu, lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, Ada Anakmas ..., ada.  Ada? ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali. “Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.” “Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut. Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. “Mustahil ..., mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,” desak Mahesa Jenar. Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata. Anakmas, memang ada obat untuk melawan  bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.
Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya. Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan? Anakmas benar.  Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala, sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk. Ular Gundala? ulang Mahesa Jenar.
 Aku pernah mendengar nama ular itu, sela Mantingan.  Ya, ular Gundala, tegas Ki Asem Gede. Ada dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda. Itu adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman, jelas Ki Asem Gede. Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa. Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia menjadi teringat kepada sahabat karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang pada masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari Sela.

Bersambung....... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.