Karena
itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya
sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir
tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya, ujar Ki Asem Gede.
Baru
ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan
pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat
sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis
laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya, tambahnya.
Meskipun
Ki Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak
berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi
menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain.
Itulah
Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan
cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku
tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat.
Sehingga perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan, jelas Ki Asem Gede.
Ki
Asem Gede mengakhiri ceriteranya dengan suatu tarikan nafas yang
dalam. Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar.
Meskipun demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya.
Sebagai
seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun
keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu
orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit
menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat
apa-apa.
Tak
adakah obat yang dapat menyembuhkannya? tanya Mahesa Jenar.
Tidak ada, jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu, lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, Ada Anakmas ..., ada. Ada? ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Tidak ada, jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu, lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, Ada Anakmas ..., ada. Ada? ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun
kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali. “Ada Anakmas, tetapi
aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.” “Sudahkah Bapak berusaha?” tanya
Mahesa Jenar lebih lanjut. Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. “Mustahil ...,
mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,” desak Mahesa Jenar. Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata. Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,” desak Mahesa Jenar. Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata. Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.
Mahesa
Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya. Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat
itu terlalu sulit untuk didapatkan? Anakmas benar. Sebab obat yang dapat
melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala, sahut Ki
Asem Gede sambil mengangguk. Ular Gundala? ulang Mahesa Jenar.
Aku pernah mendengar nama ular itu, sela Mantingan. Ya, ular Gundala, tegas Ki Asem Gede. Ada dua
macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng.
Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya
mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada
umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala
Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka
akhirnya akan menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah
yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa,
meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda. Itu
adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab
lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular
Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah
senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata
Batara Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah
bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran
dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng
memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman, jelas Ki Asem Gede.
Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa.
Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia menjadi teringat kepada
sahabat karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak
ambang pintu kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng
Sela, yang pada masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya
Nis dari Sela.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.