“Dalam
kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba.
Tetapi setelah itu aku menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati.
Suara seruling yang mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian
Wirasaba berteriak penuh kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali
tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada
serulingnya itu pun ternyata mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka
kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara suara tertawa Pradangsa
dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan
kemudian turun menukik kembali, lalu menggelegar seperti guruh yang dengan
penuh kemarahan menghantam gunung,” cerita Ki Asem Gede.
Karena
benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua
suara itu semakin lama semakin lirih ... semakin lirih. Bahkan akhirnya
keduanya berhenti dengan sendirinya. Tepat pada saat suara itu berhenti,
meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke batu
menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas, sudah dapat
dikira sampai dimana kekuatan tenaganya. Belum lagi Pradangsa menjejakkan
kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara gunturnya.
“Hai
anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang penipu seruling. Itu saja
kau hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja kau
lagukan.” Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar dirinya disebut
anak cengeng, segera bangkitlah kesombongannya.
“Memang, aku hanya mampu melagukan lagu-lagu
cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku adalah orang yang tahu diri.
Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun hanya di permukaan air. Maka
sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada wajahmu yang kasar itu.
Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta dan kasih. Tidak saja lagu maut
seperti yang kau miliki satu-satunya.
Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia tidak pernah
menerima hinaan yang sampai sedemikian. Karena itu segera darahnya naik ke
kepala. Setan! Aku tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi
dengan tenaga yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri
setiap perempuan yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba mengganggu
kebiasaanku itu. Karena itu bersediakah untuk mati? jawab Pradangsa. Wirasaba
tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam
bajunya.
Kau hanya mau berbicara saja? potongnya. Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak.
Aku tidak banyak waktu, bersiaplah. Pradangsapun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi perkelahian ini?
Kau hanya mau berbicara saja? potongnya. Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak.
Aku tidak banyak waktu, bersiaplah. Pradangsapun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi perkelahian ini?
Pradangsa
hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Setiap serangan
itu selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada
kekuatannya.
Demikian pula agaknya pada saat itu. Pradangsa
sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan
dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup
serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa.
Tetapi apa yang telah terjadi?
SAAT
itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam
tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang
hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa
sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa pula.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.