Senin, 18 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (056)

Oleh SH Mintarja


Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa.
Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit.

Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba. Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring.
Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.
Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan ceritanya.
Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.
Biasanya, lanjut Ki Asem Gede, setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah. Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali. 


Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.