Tetapi
ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa
daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah
seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak
terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka
ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia
hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan
sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang
dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu
terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika
tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat
mengetuk leher Pradangsa.
Akibat
benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia
tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari
pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber
kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu
diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan
sakit.
Meskipun
demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti
dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi
sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba
jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi
juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang
terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam
beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan
Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin
terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi
tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa
bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan.
Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya,
yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya
Wirasaba. Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap
bagian tubuhnya.
Untunglah
bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi.
Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa
potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia
terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya
yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia
menjerit nyaring.
Tiba-tiba
saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang
digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah
lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah
seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah
jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun
kembali.
Ki
Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus
setelah berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan
ceritanya.
Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.
Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.
Biasanya,
lanjut Ki Asem Gede, setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan
obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu
juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging.
Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak
mengalirkan darah. Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka
dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa
adalah bisa yang keras sekali.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.