Samparan
datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia
betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus
kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana
ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia
akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya
itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang
demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran. Sementara itu,
waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera
ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya
mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi
ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk
menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata
tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan
Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba
sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan
itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu
meleset lepas dari pegangannya.
Jumat, 25 Januari 2013
Rabu, 16 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (049)
Oleh SH Mintarja
Wirasaba
menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar
lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan
yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata
yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Ki
Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya
mereka berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan.
Tetapi Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat
ketinggian ilmu Wirasaba.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
Selasa, 15 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (048)
Oleh SH Mintarja
Sedangkan
Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk
menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai
umpan. Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya,
matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di
dalam jiwanya. Samparan, kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil
istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat
meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil
istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah,
sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku
seorang jantan, sahut Wirasaba. Samparan tertawa dingin. Kau bermaksud
demikian?
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini
menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Minggu, 13 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (047)
Oleh SH Mintarja
Mendengar
sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula
terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi
semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali
sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia
menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis.
Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.
Mendengar
ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun
sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi
perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga
sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya. Mata Wirasaba yang sayu
memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun
yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang
jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Jumat, 11 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (046)
Oleh SH Mintarja
Ki
Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang
mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai,
setelah mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat
bertemu kembali.
Ki
Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung. Sebentar kemudian
terdengarlah suara yang berat dan dalam.
Nyai,
masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali
kepadaku ...? Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus
karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena
itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba. Apakah maksudmu, Kakang? Nyai, kalau kau
dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu,
maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang
membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak menerima kau
kembali. Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka
kembali meledaklah tangisnya.
Selasa, 08 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (045)
Oleh SH Mintarja
Samparan
termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti
tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang
satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam
waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu
Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi
nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya. Segera setelah
itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk
menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya
berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan
di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul
sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki
Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang
didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede,
sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka.
Senin, 07 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (044)
Oleh SH Mintarja
Samparan
dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya
bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia
terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat
lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke
dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton
meloncat lari meninggalkan halaman.
Mantingan
tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang
kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman
menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka sama
sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan
diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main.
Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara
berdentang hebat.
Minggu, 06 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (043)
Oleh SH Mintarja
Ketika
Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang
berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di
belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian
Samparan. Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa
Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat menangkap tangan Samparan dan
diputarnya ke belakang. Samparan terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai
kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti
tanggem besi yang menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang
terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan
Mantingan. Adakah aku berbuat salah? rintih Samparan.
Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin
mendapat keterangan dari kau, jawab Mahesa Jenar.
Sabtu, 05 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (042)
Oleh SH Mintarja
Baru
saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat
keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa
Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ,
bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai
pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan
mengelakkan diri. Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat
itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar
kemudian berubah menjadi keheran-heranan. Tetapi sesaat kemudian ia berlari
menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem
Gede.
Ayah! serunya. Tetapi kemudian suaranya di
kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah
payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa
lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan sekarang ia menyaksikan putrinya
dalam keadaan yang menyedihkan. Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu,
mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama
ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan
suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya. Setelah
suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan
untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat
di gandok sebelah barat.
Jumat, 04 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (041)
Oleh SH Mintarja
Tetapi
meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah
pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk
dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh
mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan
ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian
agungnya itu menunduk hormat.
Malaikat manakah orang ini, sehingga orang
seperti Mantingan masih juga menunduk hormat? pikir mereka. Tetapi mereka tidak
sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun
dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.
Kamis, 03 Januari 2013
NAGASASRA SABUK INTEN (040)
Oleh : SH Mintarja
Berbareng
dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai,
segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda
dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya
dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki
Asem Gede berbuat seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.
Ketika
Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki
Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan
dirinya dan kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang
memegang senjata. Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat
atas pundaknya.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Langganan:
Postingan (Atom)