Jumat, 28 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (039)

Oleh SH Mintarja


Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil menanti suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan  mengandalkan kekuatannya menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Mahesa Jenar ternyata tidak mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk dengan garangnya.

Sabtu, 15 Desember 2012

Mendaftar Google AdSense


Setelah berpusing-pusingria mencari kesana kemari cara memasang Google AdSense ketemu juga caranya.. Dari banyak sumber yang aku baca ternyata kebanyakan mereka mengatakan google adsense tidak support dengan blog berbahasa Indonesia.. tapi ternyata sekarang google adsense sudah 100% support dengan blog berbahasa Indonesia.

Sekedar sharing saja buat sobat sekalian yang kebetulan kesulitan bagaimana cara mendaftar ke google adsense :

NAGASASRA SABUK INTEN (038)

Oleh SH Mintarja


Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar dada Mahesa Jenar.
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa. Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan. Kecenderungan mereka untuk  memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat orang itu. Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. Bagus ..., bagus ..., bagus ..

Jumat, 14 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (037)

Oleh SH Mintarja


Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya.
Ketika serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi  benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.
Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah pertahanan. “Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.

Kamis, 13 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (036)

Oleh SH Mintarja


Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.

Rabu, 12 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (035)

Oleh SH Mintarja


Segera terjadi dua kancah pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo yang namanya terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan dengan Mahesa Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya.

Selasa, 11 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (034)

Oleh SH Mintarja


Bayangan yang gemuk pendek dan menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami  kesulitan. Meskipun ia harus bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri.

Senin, 10 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (033)

Oleh SH Mintarja


 “Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit. Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa.
Mahesa Jenar yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya.

Minggu, 09 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (032)

Oleh SH Mintarja


Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu  himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.

Sabtu, 08 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (031)

Oleh SH Mintarja


Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin  marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan.
Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.

Jumat, 07 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (030)

Oleh SH Mintarja


Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.
Orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini. Mereka sama sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya.

Kamis, 06 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (029)

Oleh SH Mintarja


Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah, pikir Ki Asem Gede.
 Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh tanda tanya.
KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius.”

Rabu, 05 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (028)

Oleh SH Mintarja


Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
Sekarang, sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana, kata Samparan. Orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya di amben.
 Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan, kata Mahesa Jenar.
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur.

Selasa, 04 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (027)

Oleh SH Mintarja


Mahesa Jenar? ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar menambahkan, Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun  yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.  Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.

Senin, 03 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (026)

Oleh SH Mintarja


Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas  persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?
Samparan kembali merenung. Tampak ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu.  Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu  cara  untuk  mengatasinya.
“Ki Asem Gede, kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan  kami itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.”  Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.  “Setan...,

Minggu, 02 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (025)

Oleh SH Mintarja


”Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
 ”Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Direndahkan demikian, Ki Asem Gede semakin marah. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut. Mereka cepat-cepat meloncat menjauh, dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya.  Sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak.
”Bagus ..., bagus .... Alangkah hebatnya,” kata Samparan.  Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak.  ”Aku datang untuk mengambil anakku.” Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.
”Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.” ”Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
”Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”

Sabtu, 01 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (024)

Oleh SH Mintarja


Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat mengikutinya dari jarak yang  agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin lama makin dekat.  Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.  Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
 Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada putrinya.  Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah. Hampir fajar, dengus Mahesa Jenar seorang diri. Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya.