Mendengar
suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar.
Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar
menyambar dada Mahesa Jenar.
Melihat
sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu
akan mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia
tidak mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia
miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan
yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak
menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa. Dengan suatu
gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai
pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat
adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka
masih ada empat orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh
kemarahan. Kecenderungan mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan menambah
dendam keempat orang itu. Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya.
Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. Bagus ..., bagus ...,
bagus ..
Tiba-tiba
teriakan Gagak Bangah terputus, dan kegemparan penonton pun mendadak terhenti.
Mereka melihat seorang dengan lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang
sebuah pedang pendek. Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan iblis
itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya melihat Watu Gunung
dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa bahwa ia sendiri tidak akan mampu
melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu Gunung adalah lain soalnya.
Gagak
Bangah sendiri tidak sekuat Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam
hal kecepatan bergerak. Dan kecepatannya itu apabila digabungkan dengan
kekuatan tenaga Watu Gunung mungkin akan dapat merobohkan lawan yang
bagaimanapun tangguhnya. Melihat seorang kawannya memasuki arena, hati Watu
Gunung yang sudah tipis sekali itu menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak
peduli lagi kepada peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu. Melihat
seorang lagi masuk dalam arena, Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa
langkah ke belakang, dan pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak
banyak cakap, Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan
yang luar biasa ia menyerang Mahesa Jenar.
“Tunggu...
apakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?” Terpaksa Mahesa Jenar ingin
mendapat penjelasan sambil meloncat menghindari serangan itu. Tetapi, ia tidak
mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu Gunung menyerang
bersama-sama.
“Kalian melanggar peraturan,” sambung Mahesa
Jenar sambil meloncat menghindari sambaran pedang pendek dan kemudian cepat
sekali ia meloncat dua depa ke belakang sebelum kaki Watu Gunung mengenai
tungkaknya.
“Tidak ada suatu peraturanpun yang dapat
mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan garangnya. “Kami berdiri di atas
segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan, kami pun berhak
mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Mahesa
Jenar jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak
bersikap jantan. Ia paling benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih
menghargai seseorang yang mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan
curang. Itulah sebabnya kemarahan Mahesa Jenar tergugah.
Tetapi
ia sekarang berhadapan dengan dua orang yang mempunyai keistimewaan
masing-masing dan tergolong dalam tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia
harus mengerahkan sebagian besar kepandaiannya. Ki Asem Gede yang menyaksikan
kecurangan itu pun menjadi gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa
Jenar dapat menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad untuk melibatkan diri
dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba
terdengarlah sebuah bisikan. “Jangan berbuat sesuatu Ki Asem Gede.”
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.