Jumat, 14 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (037)

Oleh SH Mintarja


Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya.
Ketika serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi  benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.
Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah pertahanan. “Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan  tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa Jenar tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan kanannya sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali Watu Gunung terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil juga.
Perubahan yang terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan kepalang. Malahan kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang telah membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.
Samparan beserta ketiga kawannya sampai berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan segera melihat kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu.
Kalau mula-mula Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang menjajagi sampai di mana kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia  menjadi yakin kalau Watu Gunung akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya ketiga kawannya pun berpikir demikian.
Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak demikian hebatnya. Anehnya, serangan-serangan Mahesa Jenar tidak tampak membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat dengan dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga Watu Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi segera kaki itu ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung. Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan terhantam.
Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang berwarna merah soga itu.
Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat getaran darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan daripada dihina sedemikian. Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi menahan geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai tubuhnya berguncang-guncang.

Bersambung..... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.