Pada
saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana
dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan
berdirilah suatu himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan
hitam yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta
golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan
luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun
kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo
mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai
ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di
hutan Mentaok.
Demikian
merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang
kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun
pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai,
kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal
perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu
secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala
serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.
Bahkan
kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan
istana, dimana disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara
yang terbuat dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib
yang tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun
yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa
Ijo sendiri sampai dapat memasuki halaman istana bagian dalam. Untunglah bahwa
pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal
istana telah mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda
keliling, tetapi juga para perwira.
MALAM
itu adalah malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab
pada keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah
gerombolan Lawa Ijo bertindak.
Pada
malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya
merasakan angin aneh bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para
perajurit merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi
menahan matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari
serangan itu. Tetapi ia adalah seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia
merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi curiga. Meskipun demikian ia
tidak segera bertindak.
Mula-mula ia pusatkan kekuatan batinnya untuk
melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun ia berhasil mengatasinya.
Kemudian ia sendiri pun berpura-pura merebahkan diri di samping seorang perwira
bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi menahan kantuknya. Tetapi begitu
Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia perlahan-lahan sekali kepada
perwira bawahannya itu.
“Adi
Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah
melawan.”
Mendengar
bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya.
Cepat-cepat ia pun memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat
tenaga ia melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai
dirinya kembali.
Ketika
Mahesa Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali
ia berkata, “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di
dalam istana ini. Aku kira sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam
cengkeraman sirep itu. Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita
berdua berusaha untuk menguasai keadaan.”
“Lalu
apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”
“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.