Dengan
ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan
makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi
ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia
mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan
makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
Rupanya
Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang
sudah-sudah, pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat
bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang
tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem
Gede dengan penuh tanda tanya.
KI
Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan,
“Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan.
Sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa
makanan ini bersih dari racun maupun obat bius.”
Mendengar
keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya
menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul
beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih
kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita
akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa
orang yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat
menyaksikan pertandingan itu. Beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit
kekuatan, mencibirkan bibir. Mereka menganggap bahwa orang yang berani mencoba
melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal
orang-orang itu tidak mampu melawan gerombolan Samparan.
Sementara
itu, Mahesa Jenar yang diributkan, sama sekali tak menghiraukan kesibukan
orang-orang di halaman rumah Samparan. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa
perlu menenangkan pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar
sama sekali tak pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan
menghilangkan kehati-hatiannya.
Ketika
matahari sudah agak tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah
banyak, mengelilingi arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang
lima kali - lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam
dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan
kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan. Demikianlah
suara kentongan itu, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa yang
memanggil-manggil korbannya.
Kemudian
keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya.
Masing-masing dengan pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain
lurik merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah
soga pula, tanpa baju. Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang
yang berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara
itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia
berjalan bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut,
dan habis dipakai tidur. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka
warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya
juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja
tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku
tak dapat melayani permainanmu dengan baik.
Melihat
Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka.
Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan
tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta
otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.