Kamis, 06 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (029)

Oleh SH Mintarja


Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah, pikir Ki Asem Gede.
 Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh tanda tanya.
KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius.”

Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu. Beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan bibir. Mereka menganggap bahwa orang yang berani mencoba melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu tidak mampu melawan gerombolan Samparan.
Sementara itu, Mahesa Jenar yang diributkan, sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman rumah Samparan. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehati-hatiannya.
Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali - lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan. Demikianlah suara kentongan itu, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.
Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju. Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai tidur. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga. Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.

Bersambung..... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.