Belum
lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan.
Rupanya Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia
mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang
pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang
kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun
meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir
tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang
telah berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat
orang anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga
batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa
kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang
tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi
suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar
biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh
karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang,
pada saat ia bertanding melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede,
kembali ia mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa
Lawa Ijo. Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam
perkelahian itu pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah
terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri.
Mengingat
pengalaman berhadapan dengan Lawa Ijo, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti
tergugah. Dalam sejarah hidupnya belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah
berada di bawah hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang bukan
lagi seorang prajurit Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian
hati rakyat. Karena itu sekali lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak
peristiwa itu namanya tak pernah terdengar lagi.
Mahesa
Jenar yakin, bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa Ijo
akan muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciri-ciri khas sama dengan Lawa
Ijo, tentu mempunyai hubungan erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan
Lawa Ijo, atau mungkin juga muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar
untuk mempermainkan orang ini sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.
Kenangan
dan pikiran-pikiran itu hanya sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar.
Sementara itu suara tertawa Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para
penonton pun menjadi kian ngeri dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya
terjatuh lemas seperti dicopoti tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu
segera tiba. Para penonton yang mengharap segera berakhir riwayat kelima iblis
itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung terkatup,
matanya segera berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak bertambah bengis.
Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya direntangkan ke samping,
sedangkan jari-jarinya yang kuat itu dikembangkan, siap untuk menerkam dan
merobek lawannya.
Setapak
demi setapak ia maju mendekati umpannya. Sementara Mahesa Jenar pun telah siap,
dan telah mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap
waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang
ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo, pertarungan tentu akan menjadi
sangat sengit. Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu Gunung
menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat sekali ia melompat menerkam
Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak
yang begitu dekat dengan kecepatan yang tinggi, menjadikan darah para penonton
berdesir. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar tidak sempat menghindari
serangan itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya dengan tangannya, yang
disilangkan di muka dadanya untuk menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.