Tetapi
menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan
damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya gemeretak.
Kudanya yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga
berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu
yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa
Jenar untuk dapat mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa
kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka
makin lama makin dekat. Berapa lama
mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu
tegangnya. Ki Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya. Perjalanan mereka kini menyusup belukar,
menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan
main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam,
sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat
jalan sempit itu ke arah yang benar.
Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan
belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari belukar,
terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara,
sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada putrinya. Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak
dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama
di sebelah timur telah membayang warna merah. Hampir fajar, dengus Mahesa Jenar
seorang diri. Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan persawahan. Juga
di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-batangnya yang berwarna hijau segar
itu ditaburi oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga
untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya.
Tetapi
ketika diingatnya orang tua yang di depannya itu semakin melarikan kudanya, ia
pun segera mengesampingkan keindahan fajar. Sekali ia sentakkan kakinya,
kudanya berlari semakin cepat seperti terbang. Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede
membelok ke timur, dan sebentar kemudian menyusup masuk ke sebuah
desa.
Itulah
Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak. Dengan ujung kendali,
kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat lagi.
Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan kudanya. Ketika sampai
di muka sebuah rumah yang berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan
kudanya memasuki halaman. Kuda yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung
menuju ke pendapa rumah itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki
Asem Gede menarik kendali dan berhenti di muka pendapa.
Pendapa itu ternyata tertutup dinding di empat
sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan lampu di dalamnya hanya menyala
remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya. Sebentar ia tertegun.
Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau putrinya berada di tempat
itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya tak dapat
dirintangi kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras.
Sekali, dua kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede tak sabar lagi.
Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul daun pintu itu sekuat tenaga,
hingga berderak-derak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga terbuka
lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah olehnya lima orang
sedang duduk di atas sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil
berisi bermacam-macam makanan dan minuman keras.
Kelima
orang itu memandang Ki Asem Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh
tak acuh, sehingga Ki Asem Gede semakin marah.
”Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu
tampak garang dan sama sekali berobah dari sifat keramah-tamahannya.
Bersambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.