Mahesa
Jenar? ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini.
Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu
lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber
Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum
tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali
lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di
situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi
sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.
Melihat
keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya,
segera Mahesa Jenar menambahkan, Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun
yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu,
bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian
juga. Perkataan Mahesa Jenar ini
rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya,
apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.
Dalam
pada itu salah seorang kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan
dengan suaranya yang nyaring berkata, Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan
sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal orang ini, dan orang ini pun
rupa-rupanya belum kenal kami. Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan
sebagai pelaksanaan dari peraturan itu, pertandingan diadakan di halaman rumah
ini secara terbuka. Siapa saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi,
pertarungan dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak
mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak
untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan atas barang taruhan.
Kata-kata
itu diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan
yang sangat lunak. Mahesa Jenar menarik
nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak
cemas juga.
Kalau... seandainya... Mahesa Jenar
kalah...? Akh tak mungkin, pikir Ki Asem Gede.
Sementara
itu Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya
yang telah melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun
sedikit-banyak mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai
pembela.
Belum
lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang siapakah
diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Mendengar
nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi
jago yang harus bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang
termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi
pemimpin, adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman,
baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu
muslihat. Agar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu
Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing
ini, sehingga tidak ada kemungkinan mengalami kekalahan.
Baiklah
kawan-kawan ..., aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti,
kata Samparan. Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini. Sebaliknya
kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena tidak dapat bermain-main dengan
seorang yang sama sekali tak bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk
mencoba-coba menghalang-halangi kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka
akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung nanti. Memang, sebenarnya
Watu Gununglah yang paling berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang
pemuda, sebelum meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah
berangan-angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah
beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang,
ia ingin membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.