Begitu
kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat
menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang
kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua
murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara
mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar
laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang
itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin
berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang
itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena
jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang
berdiri di atas tangga. Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar
beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede. “Mereka
telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya. “He..?” Ki Asem
Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?” Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak
berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami
telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan
kami telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah
melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di
rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.” jawab orang itu. Tampaklah tubuh Ki
Asem Gede semakin menggigil.
Diluar
dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede
meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah
berputar dan meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti
dilakukan. Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja
tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka
melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu lagi.
Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti arah larinya
kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Orang
itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia mendengar percakapan Ki Asem Gede
dengan keempat orang berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka
ketika secepat itu Ki Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa
tentu ada kesulitan dengan menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat
menguasai dirinya dari pergolakan perasaannya, sehingga ia mengambil keputusan
untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda
Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di malam yang gelap dengan
meninggalkan debu putih yang berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali
Opak. Jalannya begitu sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede sama sekali tak
menghiraukan. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana ia yakin kalau
anaknya, Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan orang-orang
ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai kesaktian, menjadi takabur
dan berbuat sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan
seringkali mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat
adalah pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri
mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat
mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede. Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede
bergolak hebat sekali karena marahnya. Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede , ia
sudah tak pernah lagi berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus
bertempur. Ia merasa sudah masanya menyepi dan mempergunakan sisa hidupnya
untuk diabadikan pada perikemanusiaan.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.