Tetapi
yang paling gembira dengan usul ini, sambung Ki Asem Gede, adalah Adi
Mantingan, yang telah beberapa lama tidak mendengar suara gamelan.
Kembali
terdengar mereka tertawa riuh. Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya
berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai Demang satu demi
satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang berpadu dengan suara
Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati pendengarnya.
Di halaman, satu demi satu orang berdatangan
untuk turut serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah ini. Tetapi
belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan,
Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk
mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera
terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari, anak-anak
menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu
yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu
ketenteraman desa mereka. Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak.
Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.
Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,
perintah Demang Pananggalan dengan suara nyaring. Sedangkan semua laki-laki di
halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk mendapatkan senjata apa saja.
Kita masih belum tahu siapakah yang datang, tetapi keselamatan desa ini di
tangan kalian, lanjut Demang.
Laki-laki
Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut. Tetapi meskipun demikian, hati
mereka berdebar-debar juga mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang
datang beberapa waktu yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata
seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali tidak bersiaga,
maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya tidak bersenjata.
Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput, kapak pembelah kayu,
kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada yang
bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri.
Beberapa
orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang
untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai
kawan-kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh
berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki
Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu
mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya,
dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada
saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka
melihat empat orang penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki
halaman Kademangan.
Ketika
para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu,
mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda
masing-masing sehingga kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya
kuda itu menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para
penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan
dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena
mereka menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar
oleh cahaya lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di
pinggangnya dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu
pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua
orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di
pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya
lampu.
Wajah
Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-orang berkuda yang datang
itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.