Diam-diam
Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah
melipat-lipat dan hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih
seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini
menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin
sampai saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu. “Pada masa mudaku,” sambung
Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan
nama Ki Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar
terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa
almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh.
Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang
berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya
ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula. “Tetapi,”
lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat
kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat
dan keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan
senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah
suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang
sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang
saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.”
Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan, “Kepandaian yang tak berarti itu
ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana Adi Pananggalan hampir menjadi
korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang, penduduk
kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau
sampai terjadi penduduk daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali.
Orang-orang berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan
kotor lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus
dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang sudah
ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan semangatnya kembali. Aku
peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu
dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas bahwa kepandaian dan
keperkasaan mereka jauh di atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan
serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.
Dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem Gede, rupa-rupanya semangat
mereka bangkit kembali. Dan sebentar kemudian, setelah segala siasat
ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak
jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan panah, supit dan
bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk
melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasilah siasat kami untuk
mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya
kami balut dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka
suami isteri itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat
kami usir pergi.
Tetapi
yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo,
mengalami luka-luka yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis
yang ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga akhirnya ia
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya. Kembali Ki
Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa
Jenar meresapi kata-katanya.
Bagi
Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi
percobaan untuk menculik gadis di daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat
digagalkan. Tetapi meskipun demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu
berhasil mendapatkan gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.
Kemudian sesudah itu... Ki Asem Gede
melanjutkan lagi, di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak
Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian hampir
memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami merasa
bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak segera
dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya.
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.