Oleh SH Mintarja
Sebabnya,
sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah
sebagian besar dari mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa
seseorang yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang
banyak menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang
Maha Esa. Tetapi... suara Ki Asem Gede terputus.
Mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya
dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang cerah menjadi muram?
Beberapa kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat
kerongkongannya.
Tetapi...
ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
Ah tak apalah, tukasnya. Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang
yang beratus bahkan beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali
Tuhan tak memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya,
lanjut Ki Asem Gede. Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia
sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
Nah...
Anakmas... sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil berusaha untuk mengembalikan
suasana, kenapa tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas jumpai
di perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian-kejadian yang lucu,
misalnya, seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan dan Adi
Mantingan berlagak sebagai seorang sakti.
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar
tersenyum, demikian juga Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau
teringat akan hal itu, hati mereka masih tergetar.
Karena
pertanyaan itu, Mahesa Jenar teringat akan keperluannya datang ke desa itu.
Yaitu, ingin mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang
dijumpainya di puncak Gunung Ijo. “Ki Asem Gede, Bapak Demang Pananggalan serta
Kakang Mantingan. Memang sebenarnya ada aku jumpai sesuatu dalam perjalananku
yang ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari.” Ketika Mahesa
Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka mereka yang mendengarkanpun menjadi
bersungguh-sungguh pula. “Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar, aku
jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang berserak-serakan. Bekas
unggun api. Dan yang paling mengherankan adalah adanya batu-batu yang disusun
sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya terdapat kerangka
perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula kerangka yang
lain. Juga seorang perempuan.” Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan
menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan dahinya yang sudah
dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya, sedangkan Dalang Mantingan menarik nafas
dalam-dalam. Melihat keadaan itu maka makin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa
daerah ini pasti langsung mengalami bencana yang bertalian dengan peristiwa
Gunung Ijo.
“Anakmas...”
jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara yang dalam. “Akulah orangnya, kalau
ada orang tua yang sama sekali tak berguna.” Ia berhenti sebentar menelan
ludah, lalu sambungnya, “Apalagi aku sebagai seorang Demang, yang seharusnya
dapat memberikan perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama sekali
tak mampu berbuat demikian.”
Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang tadi.
Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang tadi.
Demang
Pananggalan mengeser duduknya sedikit. Matanya masih menembus gelap,
seolah-olah ada yang dicarinya di kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin
melanjutkan ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan ceritanya. Ketika itu, di
daerah ini lewat serombongan orang-orang berkuda. Didesa ini mereka berhenti
dan minta untuk menginap barang semalam. Mereka memasuki desa ini menjelang
senja. Karena tak ada tanda-tanda yang aneh pada mereka, serta sikap
pimpinannya yang ramah maka kami tak dapat menolak permintaan itu. Rombongan
itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan mengadakan ziarah ke Gunung
Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat, mereka minta untuk diperkenankan
bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah dan mengadakan
persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat aku tolak.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.