Oleh SH Mintarja
Maka
segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari
Demang tua ini. Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya
menyaksikan gerak masing-masing dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang
belum pernah dilihat sebelumnya. Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang
terjun langsung ke arena. Mereka serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang
dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa
wajib membela pemimpin mereka meskipun harus menyerahkan nyawanya. Serentak
mereka menggenggam senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang
yang berdiri di baris paling depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat kesulitan yang
bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun
kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir, meskipun hal itu
dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus
terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi
bagaimanapun, ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa
yang tak diketahui ujung- pangkalnya itu.
Tiba-tiba
ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh sebuah
teriakan nyaring. Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi? Teriakan
yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar memenuhi halaman Kademangan,
sehingga semuanya terkejut karenanya. Dan pertarungan itu pun segera terhenti.
Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang datang untuk mengobati
Baureksa dan Gagak Ijo.
Apa
yang terjadi ...? ulangnya. Perlahan-lahan matanya memandang berkeliling, ke
wajah-wajah yang berdiri di sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah
Mantingan dan Demang Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga membawa
pengaruh yang sejuk. Alangkah damainya hati seorang yang mempunyai wajah dan
mata yang begitu lunak. Umurnya sudah lanjut, dan hampir seluruh rambutnya
sudah putih.
KI
Asem Gede berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan
hormatnya. “Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia menoleh
kepada Demang Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan. “Apa yang terjadi?” ulangnya
kembali. Demang Pananggalan merasa sulit untuk memberi jawaban. Memang ia
sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini sampai terjadi?
Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki
Asem Gede kembali memandang kepada Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip,
seakan-akan ia masih belum yakin kepada penglihatannya.
Ketika
ia memasuki halaman itu, dan melihat pertarungan yang sengit, hatinya tersirap.
Ia pernah melihat orang yang bertempur melawan Demang Pananggalan
kakak-beradik. Ia merasa pernah bertemu
dengan orang itu di Demak, ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga
seorang ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati
anaknya yang sakit.
Anakmas...
katanya kemudian, bolehkah aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan
sesuatu kepada anakmas? Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi
lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri yang masih sedemikian
mudahnya terbakar oleh nafsu.
Silahkan,
Bapak... jawabnya. Apakah kiranya yang ingin Bapak ketahui? Maafkanlah orang
tua ini, kata orang tua itu selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar dengan
penuh perhatian. Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah
bertemu dengan Anakmas di Demak. Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benar-benar pernah
bertemu dengan orang itu.
Aku
pernah datang ke Demak, sambung Ki Asem Gede, bersama-sama dengan kakakku,
untuk mencoba menyembuhkan sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira
dari perajurit pengawal raja. Mendengar
kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa Jenar jadi teringat pertemuannya
dengan orang tua itu. Pada saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan
sepasukan yang pada saat yang bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk
mengobati anaknya yang sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang
dari kedua orang itu, adalah yang sekarang berdiri di hadapannya.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.