Rabu, 28 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (021)

Oleh SH Mintarja


Meskipun demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu. Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang.
Suatu tarikan nafas penjelasan. Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang-orang yang mempunyai kepercayaan sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu

DI bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda  sama sekali. Beberapa orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
 Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mula-mula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam.
 “Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar? Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.” kata Ki Asem Gede kepada Demang Pananggalan. Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik bahannya maupun bunyinya. Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman, “Siapa yang di luar?” “Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.
 Sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut. “Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
 “Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya sebagai seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
 Ki Asem Gede tertawa terkekeh kekeh. “Lebih dari itu..., aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?” sahut Ki Asem Gede. Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga Mahesa Jenar dan Mantingan.
Rupanya Ki Asem Gede adalah seorang penggemar uyon-uyon. Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis, kata Demang Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke halaman.
Baik Bapak Demang, jawabnya, sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik dan meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di halaman.

Beraambung...... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.