Meskipun
demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir
mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi
beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung
Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang
kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu. Cerita Ki Asem Gede
diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang.
Suatu
tarikan nafas penjelasan. Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang
berkuda itu adalah orang-orang yang mempunyai kepercayaan sesat. Memang pernah
terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya menggunakan
gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain.
Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan
sebagainya.
Suasana
kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka
dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan
tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan
sesat semacam itu
DI
bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda
sama sekali. Beberapa orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam
yang kali ini berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat
mereka hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar
yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling
terkenal di Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang
Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang
mula-mula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk mengubah suasana,
melenyapkan ketegangan yang mencekam.
“Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat
menjamu Anakmas Mahesa Jenar? Tentang ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah
kita simpan lebih dahulu, sampai kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar
perlu melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh serta telah
meladeni Adi berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada
usul. Adi pasti setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.” kata Ki
Asem Gede kepada Demang Pananggalan. Demang Pananggalan tersenyum mendengar
usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik bahannya
maupun bunyinya. Tentu saja Demang Pananggalan tidak dapat menolak usul itu.
Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman, “Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.
Sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah
naik ke pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut. “Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut. “Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita
bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya sebagai
seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa terkekeh kekeh. “Lebih
dari itu..., aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang
pesinden yang baik di desa ini?” sahut Ki Asem Gede. Kembali Ki Demang Pananggalan
tersenyum, juga Mahesa Jenar dan Mantingan.
Rupanya
Ki Asem Gede adalah seorang penggemar uyon-uyon. Nah, kalau begitu panggil Nyai
Jae Manis, kata Demang Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke
halaman.
Baik
Bapak Demang, jawabnya, sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar
suara berbisik-bisik dan meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang
berada di halaman.
Beraambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.