Ketika
ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak
lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat,
menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di
atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka.
Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya
jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang
terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya
yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang
berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam
saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung
Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang.
Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang
ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi
batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti
mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka
yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang sedang menghijau
itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat beberapa
keterangan tentang kerangka-kerangka itu.
Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan
cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi Sungai
Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya
penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang
bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah.
Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding
rumahnya.
Apakah yang aneh padaku? pikirnya. Ia merasa susah untuk
menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal,
terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup
baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan
seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah
untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun
menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari
sekian banyak pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari
balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang
tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak
orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti
maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak
mengetahui akan hal itu.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.