Oleh SH Mintarja
Demang
Pananggalan, demikian nama Demang tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan
pertempuran itu. Sebab kalau sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus
bertanggungjawab.
Cepat-cepat
ia mendekati Baureksa yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia
menjadi terkejut sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur
siku Mahesa Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa
adanya luka dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan.
Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu
lagi bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan
bermain-main saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus
Baureksa.
Sementara
itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang ke dalam sambil menunggu Ki
Asem Gede. Kini perhatian orang seluruhnya tertumpah kepada Mahesa Jenar yang
masih belum bergeser dari tempatnya. Hanya sebentar mereka melirik juga kepada
Demang Pananggalan, sambil bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya yang
akan diperbuat oleh demang tua itu? Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan
telah mengambil keputusan untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah
kademangan dan memberikan keterangan-keterangan. Tetapi segera keadaan menjadi
tegang kembali ketika seseorang dengan langkah yang tegap dan tenang memasuki
gelanggang.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing ini. ”Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya yang bernama Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing ini. ”Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya yang bernama Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya.
Melihat
kebingungan dan keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan menyambung, “Aku
tidak akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau orang lain menyangka
betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu.
Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajagi
kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan keterangan yang diberikan
bukanlah berarti suatu kebenaran yang harus kita percaya demikian saja.”
“Tetapi
maksudku bukan kau, Mantingan,” kata demang itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa
adiknya adalah orang yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya
sendiri. Ia adalah murid kedua Ki Ageng Supit di Wanakerta.
Mantingan
adalah seorang dalang yang secara kebetulan sedang mengunjungi kampung
halamannya, yang baru saja didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis.
Dan Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau ada kemungkinan
gerombolan penculik itu datang kembali. Tetapi saat itu Mantingan seperti tidak
mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada orang
terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa kesadaran.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.