Oleh
SH Mintarja
Awan
yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang diaduk dan
kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin
hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh
antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya
sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah. Syeh Siti Jenar
dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki
Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas
Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga
disebut Jaka Tingkir.
Jaka
Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana.
Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada
masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng
Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir
pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang
dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak
diinginkan.
Telah
bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang
prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang
telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun
kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.
Hanya
dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka
yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang
Maha Esa. Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia
bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu
mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya.
Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan
hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada
masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang
guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta
kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi
karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak
berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin
guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding
dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama
Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa
ia mampu menangkap petir. Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan
gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala
kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan tenaganya.
Bersambung.......
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.