Oleh SH Mintarja
Mahesa
Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah
menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya
karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu terjadi.
Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu
sendiri. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak Demang Pananggalan dan Kakang
Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu
disesali. Yang perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua
orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud
untuk melukainya benar-benar. Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan
mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang
yang berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran-heranan. Mereka
yang pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya,
segera bercerita dengan suara yang berderai-derai, seakan-akan dengan mengenal
nama itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan
kepahlawanan.
Sementara
itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo
dan Baureksa tidak ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki
Asem Gede segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin
mereka sudah tak tertolong lagi.
Kecuali
itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian
tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena
serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah,
daya tahan tubuh Mantingan cukup kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja
terlalu keras untuk menolongnya.
Ketika
keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah
mereka di atas bale-bale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak
yang nyalanya bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin.
Di
luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam.
Sedangkan di langit satu demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya
malam. Mereka mulai berbicara dan bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa
Jenar tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai
dirinya, kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
Aku
telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam
senjata, dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi
rupa-rupanya Tuhan sendiri belum berkenan, sehingga aku masih dikendalikan oleh
nafsu, kata Mahesa Jenar.
Semuanya
yang mendengarkan mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah,
sehingga Mahesa Jenar terpaksa menyesali dirinya. Sementara itu mulailah
hidangan mengalir. Demang Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa
Jenar, ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa yang
mungkin dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang
bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka.
Banyak hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga
suasana menjadi meriah dan akrab.
Diceritakan,
bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air
saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang berada
dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang diperlukan.
Tetapi...
tiga hari kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh
sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang mujarab,
kata Ki Asem Gede.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.