Sabtu, 24 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (017)



Oleh SH Mintarja

Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu terjadi.
 Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu sendiri. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benar-benar. Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran-heranan. Mereka yang pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera bercerita dengan suara yang berderai-derai, seakan-akan dengan mengenal nama itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.

Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin mereka sudah tak tertolong lagi.
Kecuali itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah,  daya tahan tubuh Mantingan cukup kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras untuk menolongnya.
Ketika keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas bale-bale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin.
Di luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya malam. Mereka mulai berbicara dan bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya, kenapa ia sampai meninggalkan Demak.
Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam senjata, dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi rupa-rupanya Tuhan sendiri belum berkenan, sehingga aku masih dikendalikan oleh nafsu, kata Mahesa Jenar.
Semuanya yang mendengarkan mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga Mahesa Jenar  terpaksa menyesali dirinya. Sementara itu mulailah hidangan mengalir. Demang Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa yang mungkin dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka. Banyak hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana menjadi meriah dan akrab.
Diceritakan, bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang berada dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang diperlukan.
Tetapi... tiga hari kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang mujarab, kata Ki Asem Gede.

Bersambung..... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau mampir...

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.