Oleh SH Mintarja
Ki
Sanak, kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan, aku belum pernah
bertemu dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan
apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu.
Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit
pengetahuan yang aku miliki.
Mahesa
Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan
orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa
Jenar lebih berhati-hati melawannya.
Dan
sekarang, sambung Mantingan, awaslah... aku mulai. Dan sesudah itu, benar-benar
ia mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan
kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.
Melihat serangan ini, Mahesa Jenar terkejut.
Ia kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil namanya, sama sekali
ia tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di hadapannya. Bahkan
sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang Mantingan dari
Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering mendengar nama itu. Bahkan pernah
tersebar khabar di Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat menangkap
tiga saudara perampok dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang dikenal dengan
satu nama: Samber Nyawa. Gerak pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng Supit,
yang meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga mempunyai
nama yang dikagumi.
Tetapi
Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia segera sibuk melayani
lawannya, yang bergerak menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup
tangguh. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan
menghindar saja. Ia tidak bisa hanya bersikap mempertahankan diri saja. Untuk
mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus ganti menyerang.
Serangan
Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi semakin hebat pula. Tangannya
bergerak-gerak dengan cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali
tangan Mantingan itu sudah berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah
bekas prajurit pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang
juga disebut Ki Ageng Pengging Sepuh. Untuk melawan Mantingan, sengaja Mahesa
Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya, sebab jelas bahwa perguruannya
mempunyai beberapa persamaan dengan gerak-gerak yang dilakukan oleh Mantingan.
Segera Mantingan pun dapat pula mengenal tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga
seperti ilmunya sendiri, mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum
Bra Tanjung, yang diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan
gerak-gerak penyerangan yang mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak
tahu dari manakah Mahesa Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki
banyak perubahan dan penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang
tepat dan berbahaya. Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan
memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan pertandingan ini.
Ketika
Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia
memusatkan segala tenaga dan pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda
lawannya.
“Hebat
...!” pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima serangan bertubi-tubi dari
Mantingan. “Memang perguruan Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak dapat
diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah
surut. Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap kesempatan. Cepat
ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran hebat. Rupa-rupanya Ki Dalang
Mantingan menjadi agak gusar ketika serangan-serangannya tidak segera dapat
mengenai lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu
gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak
mau mengorbankan namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Bersambung..........
Bersambung..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau mampir...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.