Begitu
kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat
menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang
kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua
murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara
mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar
laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang
itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin
berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang
itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena
jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang
berdiri di atas tangga. Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar
beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede. “Mereka
telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya. “He..?” Ki Asem
Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?” Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak
berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.