Selasa, 18 Juni 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (060)

Oleh SH Mintarja

Akan aku coba, tetapi harus perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah bekerja terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai daya tahan yang luar biasa, ia telah lama binasa. Karena itu aku tidak berani mengobatinya sekaligus. Benturan yang berlebihan di dalam tubuhnya antara dua jenis bisa itu akan dapat membunuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu, jawab Ki Asem Gede.
Akhirnya Ki Asem Gede minta kepada Mahesa Jenar untuk diizinkan meminjam biji bisa itu. Ia akan mencoba sedikit demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang bertahun-tahun tak dapat dipergunakan.
Sementara itu malam menjadi semakin dalam. Bunyi jangkrik terdengar saling bersahutan dengan kemersik daun yang digerakkan oleh angin malam sejuk. Sementara itu, Ki Asem Gede atas nama anak menantunya mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat.
Tetapi malam itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasrat untuk tidur. Ketika ia sudah membaringkan dirinya, teringatlah kembali semua peristiwa yang dialaminya pada hari-hari terakhir. Maka barulah terasa penat-penat di bagian-bagian anggota badannya.

Jumat, 26 April 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (059)

Oleh SH Mintarja


Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak hanya mendapat kesempatan membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga mendapat hadiah dari sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu. 
Dengan biji bisa itu Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndam dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah direndam didalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.

Selasa, 05 Maret 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (058)

Oleh SH Mintarja


Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui kilat. Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut ceritera dapat menangkap petir.
Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh semacam sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat bergerak cepat luar biasa, sehingga ia dapat menghindari sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat menangkapnya.
Tetapi demikian tangannya menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada saat itu   tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat panjang.
Untunglah bahwa sebelumnya ia pernah mendengar ceritera tentang seekor ular yang pandai terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi penggembala hujan. Maka secepat kilat benda yang ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah.

Rabu, 20 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (057)

Oleh SH Mintarja


Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya, ujar Ki Asem Gede.
Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya, tambahnya.
Meskipun Ki Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya  racun itu ke bagian tubuh  yang lain.
Itulah Anakmas  Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan, jelas Ki Asem Gede.

Senin, 18 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (056)

Oleh SH Mintarja


Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa.
Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit.

Jumat, 15 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (055)

oleh SH Mintarja


“Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling yang mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun ternyata mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan kemudian turun menukik kembali, lalu menggelegar seperti guruh yang dengan penuh kemarahan menghantam gunung,” cerita Ki Asem Gede.
Karena benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua suara itu semakin lama semakin lirih ... semakin lirih. Bahkan akhirnya keduanya berhenti dengan sendirinya. Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas, sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan tenaganya. Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara gunturnya.

Kamis, 14 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (054)

Oleh SH Mintarja


Pada suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu.
Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading, kata Ki Asem Gede.

Rabu, 13 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (053)

Oleh SH Mintarja


Kemudian denyut jantung Samparan turun dengan cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin pucat. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk melanjutkan ceritanya.
 Bulan terakhir tahun ini, tepat pada saat purnama naik, di lembah Tanah Rawa-rawa, akan hadir dalam pertemuan itu antara lain Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang Uling dari Rawa Pening sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih. Suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar, Djaka Soka, Bajak Laut yang berwajah tampan dari Nusakambangan, yang mendapat julukan Ular Laut. Sebenarnya Samparan masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia sudah terlalu lemah. Sudahlah Samparan. Jangan pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah, potong Ki Asem Gede.
Samparan tersenyum buat terakhir kalinya. Ia menarik nafas panjang, dan sesudah itu terhentilah denyut jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat menundukkan kepala masing-masing dengan rasa haru.

Selasa, 12 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (052)

Oleh SH Mintarja


Naga Sasra dan Sabuk Inten, potong Dalang Mantingan mengejutkan. Ya, demikian mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang, yang mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya, jelas Samparan.
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah Alit, tambah Samparan. Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo. Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, Jadi Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?

Senin, 11 Februari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (051)

Oleh SH Mintarja

 Biarlah aku coba, desak Ki Asm Gede, meskipun ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak ada kemungkinan untuk mengobati luka Samparan itu. Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng perlahan-lahan. Ki Sanak Mahesa Jenar ..., sebelum aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu takut kepada Lawa Ijo dan kepada siapapun? Kau mau mendengar? desah Samparan kemudian. Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya, Aku ingin mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah, karena itu kau harus beristirahat. Samparan menarik nafas dalam-dalam. Waktuku tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo sekarang berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan Mentaok. Desa tempat tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula.
 Desa itu terletak tepat di tepi hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan yang hampir dipenuhi oleh pohon pucang, sehingga hutan itu disebut Alas Pucang Kerep, kata Samparan.  Samparan berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.

Jumat, 25 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (050)

Oleh SH Mintarja


Samparan datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran. Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari pegangannya.

Rabu, 16 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (049)

Oleh SH Mintarja


Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Ki Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya mereka berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan. Tetapi Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat ketinggian ilmu Wirasaba.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi. Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.

Selasa, 15 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (048)

Oleh SH Mintarja


Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan. Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam jiwanya. Samparan, kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku seorang jantan, sahut Wirasaba. Samparan tertawa dingin. Kau bermaksud demikian?
 Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.

Minggu, 13 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (047)

Oleh SH Mintarja

Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis. Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya. Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.

Jumat, 11 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (046)

Oleh SH Mintarja

Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung. Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam.
Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali kepadaku ...? Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba. Apakah maksudmu, Kakang? Nyai, kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang membebaskan engkau, Nyai, maka  akulah yang tidak berhak menerima kau kembali. Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya.

Selasa, 08 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (045)

Oleh SH Mintarja


Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya. Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara dua bulak yang tak begitu lebar.
 Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka.

Senin, 07 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (044)

Oleh SH Mintarja


Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat  lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman.
Mantingan tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang kemudian  disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo.  Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba  berhenti membalikkan diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara berdentang hebat.

Minggu, 06 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (043)

Oleh SH Mintarja


Ketika Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu.  Di belakangnya menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian Samparan. Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan secepat kilat menangkap tangan  Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi yang menjepit tangannya. Bahkan tidak hanya Samparan yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan Mantingan. Adakah aku berbuat salah? rintih Samparan.
 Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat keterangan dari kau, jawab Mahesa Jenar.

Sabtu, 05 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (042)

Oleh SH Mintarja


Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ, bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan mengelakkan diri. Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan. Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
 Ayah! serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan. Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan Samparan, seorang iblis yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah dimilikinya. Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah barat.

Jumat, 04 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (041)

Oleh SH Mintarja


Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat.
 Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk hormat? pikir mereka. Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
Kau Samparan? desis Mantingan. Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah  mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil. Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding? tanya Mantingan melanjutkan.

Kamis, 03 Januari 2013

NAGASASRA SABUK INTEN (040)



Oleh : SH Mintarja
Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai, segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan, maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.
Ketika Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata. Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.