Jumat, 28 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (039)

Oleh SH Mintarja


Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil menanti suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan  mengandalkan kekuatannya menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Mahesa Jenar ternyata tidak mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk dengan garangnya.

Sabtu, 15 Desember 2012

Mendaftar Google AdSense


Setelah berpusing-pusingria mencari kesana kemari cara memasang Google AdSense ketemu juga caranya.. Dari banyak sumber yang aku baca ternyata kebanyakan mereka mengatakan google adsense tidak support dengan blog berbahasa Indonesia.. tapi ternyata sekarang google adsense sudah 100% support dengan blog berbahasa Indonesia.

Sekedar sharing saja buat sobat sekalian yang kebetulan kesulitan bagaimana cara mendaftar ke google adsense :

NAGASASRA SABUK INTEN (038)

Oleh SH Mintarja


Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar dada Mahesa Jenar.
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa. Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan. Kecenderungan mereka untuk  memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat orang itu. Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia berteriak-teriak memuji. Bagus ..., bagus ..., bagus ..

Jumat, 14 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (037)

Oleh SH Mintarja


Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya.
Ketika serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi  benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.
Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah pertahanan. “Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.

Kamis, 13 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (036)

Oleh SH Mintarja


Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.
Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.

Rabu, 12 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (035)

Oleh SH Mintarja


Segera terjadi dua kancah pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo yang namanya terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan dengan Mahesa Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya.

Selasa, 11 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (034)

Oleh SH Mintarja


Bayangan yang gemuk pendek dan menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami  kesulitan. Meskipun ia harus bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri.

Senin, 10 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (033)

Oleh SH Mintarja


 “Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit. Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa.
Mahesa Jenar yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya.

Minggu, 09 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (032)

Oleh SH Mintarja


Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu  himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.

Sabtu, 08 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (031)

Oleh SH Mintarja


Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin  marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan.
Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.

Jumat, 07 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (030)

Oleh SH Mintarja


Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.
Orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini. Mereka sama sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya.

Kamis, 06 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (029)

Oleh SH Mintarja


Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah, pikir Ki Asem Gede.
 Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh tanda tanya.
KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius.”

Rabu, 05 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (028)

Oleh SH Mintarja


Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
Sekarang, sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana, kata Samparan. Orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya di amben.
 Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan, kata Mahesa Jenar.
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur.

Selasa, 04 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (027)

Oleh SH Mintarja


Mahesa Jenar? ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar menambahkan, Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun  yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.  Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.

Senin, 03 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (026)

Oleh SH Mintarja


Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas  persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?
Samparan kembali merenung. Tampak ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu.  Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu  cara  untuk  mengatasinya.
“Ki Asem Gede, kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan  kami itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.”  Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.  “Setan...,

Minggu, 02 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (025)

Oleh SH Mintarja


”Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
 ”Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Direndahkan demikian, Ki Asem Gede semakin marah. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut. Mereka cepat-cepat meloncat menjauh, dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya.  Sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak.
”Bagus ..., bagus .... Alangkah hebatnya,” kata Samparan.  Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak.  ”Aku datang untuk mengambil anakku.” Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.
”Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.” ”Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
”Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”

Sabtu, 01 Desember 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (024)

Oleh SH Mintarja


Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat mengikutinya dari jarak yang  agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin lama makin dekat.  Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.  Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
 Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada putrinya.  Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah. Hampir fajar, dengus Mahesa Jenar seorang diri. Kuda-kuda mereka kini telah mulai menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya.

Jumat, 30 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (023)

Oleh SH Mintarja


Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
 “Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga. Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
 “Katakanlah,” desak Ki Asem Gede. “Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya. “He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil. “Kalian tak berbuat apa-apa?” Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.

Kamis, 29 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (022)

Oleh SH Mintarja
Tetapi yang paling gembira dengan usul ini, sambung Ki Asem Gede, adalah Adi Mantingan, yang telah beberapa lama tidak  mendengar suara gamelan.
Kembali terdengar mereka tertawa riuh. Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai Demang satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang berpadu dengan suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati pendengarnya.
 Di halaman, satu demi satu orang berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden kenamaan dari daerah ini. Tetapi belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
 Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu ketenteraman desa mereka. Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi keadaan.

Rabu, 28 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (021)

Oleh SH Mintarja


Meskipun demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu. Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang.
Suatu tarikan nafas penjelasan. Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang-orang yang mempunyai kepercayaan sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu

Selasa, 27 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (020)

Oleh SH Mintarja

Diam-diam  Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu. “Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar.”
 Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan  pula. “Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.”

Senin, 26 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (019)

Oleh SH Mintarja

Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kemudian ia kembali menyambung ceritanya. Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada malam kedua mereka menangkap seorang gadis yang sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang baru pulang dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu. Pengantar gadis itu, seorang pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan. Maka ketika hal itu disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar Kademangan yang kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-rapat. Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan kami. Mereka sama sekali tidak menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh desa ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan lagi. Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya mereka telah siap menanti kedatangan kami.

Minggu, 25 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (018)




Oleh SH Mintarja

 Sebabnya, sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa seseorang yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang banyak menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi... suara Ki Asem Gede terputus.
 Mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Tetapi... ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu. Ah tak apalah, tukasnya. Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya, lanjut Ki Asem Gede. Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sabtu, 24 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (017)



Oleh SH Mintarja

Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu terjadi.
 Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu sendiri. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benar-benar. Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran-heranan. Mereka yang pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera bercerita dengan suara yang berderai-derai, seakan-akan dengan mengenal nama itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.

Jumat, 23 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (016)


Oleh SH Mintarja


Di sana... Ki Asem Gede melanjutkan, aku bertemu pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu. Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati? Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk juga. Nah... kata orang tua itu pula, kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem Danapaten. Benarkah? Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih baik ia menyingkirkan diri, dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah setiap usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap berbahaya seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi bentrokan dengan orang-orang yang sedang menjalankan kewajibannya, serta,kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari setiap kemungkinan itu. Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar mengangguk lemah.

Kamis, 22 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (015)


Oleh SH Mintarja

Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini. Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masing-masing dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka meskipun harus menyerahkan nyawanya. Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris paling depan sudah mulai bergerak.

Rabu, 21 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (014)

Oleh SH Mintarja



Demang Panggalan menjadi semakin cemas dan bingung. Ia tidak menghendaki orang asing yang belum diketahuinya benar-benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia berdiri sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu, Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan ia sama sekali tidak rela kalau adiknya mengalami hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya. Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak terkekang lagi.
 Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat mundur. Tetapi Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka, demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya pula dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai pinggangnya.

NAGASASRA SABUK INTEN (013)


Oleh SH Mintarja


Ki Sanak, kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan, aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih berhati-hati melawannya.
Dan sekarang, sambung Mantingan, awaslah... aku mulai. Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.

Minggu, 18 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (012)




Oleh SH Mintarja


Demang Pananggalan, demikian nama Demang tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus bertanggungjawab.
Cepat-cepat ia mendekati Baureksa yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa adanya luka dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan. Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus Baureksa.       

NAGASASRA SABUK INTEN (011)




Oleh SH Mintarja

Mengalami hal semacam itu, meskipun terpaksa menahan sakit, Baureksa menjadi bertambah kalap. Ia mengumpulkan segenap tenaganya dan ingin menebus malunya dengan mematahkan leher lawannya. Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa sakitnya, sehingga Mahesa Jenar tak dapat mengukur akibat gempurannya dengan pasti. Baureksa cepat-cepat menarik diri untuk segera bersiap-siap menyerang, sedangkan Mahesa Jenar pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang lawannya ke dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut, sedangkan tangan kirinya menghantam pelipis. Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri serta memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa Mahesa Jenar mencoba menghindar, segera Baureksa mengubah arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik tangannya dan dengan satu gerakan dahsyat ia meloncat dan menendang kepala lawannya. Mahesa Jenar tidak menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu. Karena itu ia tidak lagi sempat mengelak.

NAGASASRA SABUK INTEN (010)




Oleh SH Mintarja

Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini. Ia ingin segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo hampir berhasil menegakkan dirinya, seperti sambaran kilat telapak tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo. Meskipun  Mahesa Jenar hanya mempergunakan tenaga dorong yang tidak seberapa, tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas Gagak Ijo mendadak serasa berhenti, dan pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang. Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk  menahan diri, tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia terduduk di tanah dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua tangannya berusaha untuk menahan berat badannya.

Jumat, 16 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (009)




Oleh SH Mintarja


Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang menyaksikan menahan nafas sambil berdebar-debar.
Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan kekuatannya

Kamis, 15 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (008)



Oleh SH Mintarja

Peristiwa semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
 “Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit. “Siapa namamu?” Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya. “Namaku Mahesa Jenar.” rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat bertindak setenang

Rabu, 14 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (007)


Oleh SH Mintarja

Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa? tanya Demang tua itu. Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya. Orang itu harus berkata sebenarnya, katanya.
Kalau tidak mau? pancing Demang itu. dipaksa! jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu. Bagus... terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi, katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan baik.

Selasa, 13 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (006)

Oleh SH Mintarja


Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?
Tetapi  tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang, kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri memagari. Dan sekali  lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula. Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui umum. Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia membentak dengan suaranya yang lantang.

Senin, 12 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (005)

Oleh SH Mintarja


 Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya, tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud buruk.
Bolehkah aku bertanya? kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak?  Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.

Minggu, 11 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (004)



Oleh SH Mintarja

Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan sebagainya. Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima.
 Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat. Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang. Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.

Sabtu, 10 November 2012

NAGASASRA SABUK INTEN (003)

Oleh SH Mintarja


Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan  keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu Baka.
Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi  yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.